Jamaah Tauhid Wal Jihad
  Majalah 3
 

Materi majalah ke 2

Inti Dakwah Para Rasul

Kufur Kepada Thaghut

(Bagian Pertama)

          Setelah kita mengetahui pentingnya perealisasian laa ilaaha illallaah, maka sekarang saya akan menjelaskan kandungan kalimat ini, yaitu kufur kepada thaghut dan iman kepada Allah. Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa berfirman:

“Siapa yang kufur terhadap thaghut dan beriman kepada Allah, maka dia itu telah berpegang teguh kepada buhul tali yang sangat kokoh (laa ilaaha ilallaah)” (Al Baqarah : 256)

          Adapun tata cara kufur kepada thaghut adalah sebagaimana yang dijabarkan oleh Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah :

1.    Engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah,

2.    Engkau meninggalkannya,

3.    Engkau membencinya,

4.    Engkau mengkafirkan pelakunya,

5.    Dan engkau memusuhi para pelakunya.

 

Ini sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya tatkala mereka mengatakan kepada kaumnya : “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadati selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja” (Al Mumtahanah : 4)

 

Adapun penjabarannya adalah sebagai berikut :

 

I.    Engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah.

          Ibadah adalah hak khusus Allah, maka ketika dipalingkan kepada selain Allah, itu adalah syirik lagi bathil. Do’a adalah ibadah sebagaimana firmanNya Ta’ala :

“Berdo’alah kepadaKu, tentu akan Kukabulkan permohonan kalian, sesungguhnya orang-orang yang menolak beribadah kepadaKu, maka mereka akan masuk nereka Jahannam dalam keadaan hina” (Al Mukmin : 60)

Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam besabda : “Do’a itu adalah ibadah” Memohon kepada orang-orang yang sudah mati adalah diantara bentuk pemalingan ibadah do’a kepada selain Allah, dan itu harus diyakini bathil, sedang orang yang meyakini bahwa memohon kepada orang atau wali yang sudah mati adalah sebagai bentuk pengagungan terhadap wali tersebut maka dia belum kufur terhadap thaghut.

          Sembelihan adalah ibadah, dan bila dipalingkan kepada selain Allah, maka hal tersebut adalah syirik lagi bathil, Allah Ta’ala berfirman :

“Katakanlah, Sesunggunya shalatku, sembelihanku, hidup dan matiku adalah bagi Allah Rabbul ‘alamin, tiada satu sekutupun bagiNya” (Al An’am : 162-163)

Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda : “Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah (tumbal)”(HR Muslim). Sedangkan dalam kenyataan, orang yang membuat tumbal, baik berupa ayam atau kambing saat hendak membangun rumah, gedung, jembatan dsb, dia menganggap sebagai tradisi yang patut dilestarikan, maka orang ini tidak kufur terhadap thaghut.

          Taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan cara bersedekah makanan adalah ibadah, sedangkan taqarrub kepada jin dan syaitan dengan sesajen adalah syirik lagi bathil. Allah berfirman tentang syiriknya orang-orang Arab dahulu :

“Dan mereka menjadikan bagi Allah satu bahagian dari apa yang telah Allah ciptakan berupa tanaman dan binatang ternak. Mereka mengatakan sesuai dengan persangkaan mereka : “Ini bagi Allah dan ini bagi berhala-berhala kami”  (Al An’am : 136)

Jadi orang yang menganggap pembuatan sesajen sebagai tradisi yang mesti dilestarikan, berarti dia tidak kufur terhadap thaghut.

          Wewenang ( menentukan / membuat ) hukum/ undang-undang/aturan adalah hak Allah. Penyandaran hukum kepada Allah adalah bentuk ibadah kepadaNya, sedangkan bila wewenang itu disandarkan kepada makhluk, maka itu adalah syirik dan merupakan suatu bentuk ibadah kepada makhluk tersebut. Allah Ta'ala berfirman :

“(Hak) menentukan hukum itu tidak lain adalah milik Allah. Dia memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali kepadaNya. Itulah dien yang lurus” (Yusuf : 40)

Dalam ayat ini Allah memerintahkan manusia agar tidak menyandarkan hukum kecuali kepada Allah, dan Allah namakan penyandaran hukum itu sebagai ibadah, sehingga apabila disandarkan kepada makhluk maka hal itu adalah perbuatan syirik, sebagaimana firmanNya :

“Dan janganlah kalian memakan dari (sembelihan) yang tidak disebutkan nama Allah padanya, sesungguhnya hal itu adalah fisq. Dan sesungguhnya syaitan mewahyukan kepada wali-walinya untuk mendebat kalian, dan bila kalian menta’ati mereka maka sungguh kalian ini adalah orang-orang musyrik” (Al An’am : 121)

          Kita mengetahui dalam ajaran Islam bahwa sembelihan yang tidak memakai nama Allah adalah bangkai dan itu haram, sedangkan dalam ajaran kaum musyrikin adalah halal. Syaitan membisikan kepada wali-walinya (agar berkata) :, “Hai Muhammad, ada kambing mati di pagi hari, siapakah yang membunuhnya?” maka Rasulullah menjawab, “Allah yang telah mematikannya” Mereka berkata, “Kambing yang telah Allah sembelih (maksudnya bangkai) dengan tanganNya Yang Mulia kalian haramkan, sedangkan yang kalian sembelih dengan tangan-tangan kalian, kalian katakan halal, berarti sembelihan kalian lebih baik daripada sembelihan Allah” Hadits ini diriwayatkan Al Hakim dari Ibnu ‘Abbas dengan sanad yang shahih.

Ucapan tersebut adalah wahyu syaitan untuk mendebat kaum muslimin agar setuju dengan aturan yang menyelisihi aturan Allah, atau agar setuju dengan penyandaran kewenangan pembuatan hukum walaupun satu hukum saja kepada selain Allah, maka Allah tegaskan, bahwa apabila mereka (kaum muslimin) setuju dengan hal itu berarti mereka telah musyrik. dan dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman :

“Mereka (orang-orang Nashrani) telah menjadikan alim ulama dan para Rahib (ahli ibadah) mereka sebagai Arbaab (tuhan-tuhan) selain Allah, dan juga Al Masih putera Maryam, padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan Yang Haq kecuali Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (At Taubah : 31) 

Dalam ayat ini Allah vonis orang-orang Nashrani sebagai berikut :

-    Mereka telah mempertuhankan para ahli ilmu dan para rahib

-    Mereka telah beribadah kepada selain Allah

-    Mereka telah musyrik.

-    Mereka telah melanggar laa ilaaha illallaah.

-    Juga para ahli ilmu dan para rahib tersebut telah Allah vonis sebagai orang-orang yang memposisikan dirinya sebagai Arbaab.

          Dalam atsar yang diriwayatkan At Tirmidzi yang dihasankan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah radliyallaahu 'anhu dari ‘Adiy Ibnu Hatim (dia asalnya Nashrani kemudian masuk Islam) Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam membacakan ayat itu di hadapan ‘Adiy Ibnu Hatim, maka dia berkata : “Wahai Rasulullah, kami tidak pernah ibadah kepada mereka (ahli ilmu dan para rahib)” maka Rasulullah berkata, “Bukankah mereka itu menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan kalian ikut-ikutan menghalalkannya? Bukankah mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan lalu kalian ikut-ikutan mengharamkannya?” lalu ‘Adiy Ibnu Hatim berkata, “Ya, betul” lalu Rasulullah berkata lagi, “Itulah bentuk peribadatan  kepada mereka itu”

Jadi orang Nashrani divonis musyrik karena mereka setuju dengan penyandaran hukum kepada selain Allah, yaitu kepada ahli ilmu dan para rahib.       Sedangkan pada masa sekarang, banyak orang meyakini bahwa demokrasi adalah pilihan terbaik, atau minimal boleh menurut mereka. Padahal demokrasi berintikan pada penyandaran wewenang pembuatan hukum/undang-undang kepada selain Allah, yaitu rakyat atau wakil-wakilnya, sedangkan ini adalah syirik akbar, maka orang tersebut tidak kufur terhadap thaghut sehingga dia itu belum muslim. 

Allah Ta’ala berfirman berkaitan dengan semua peribadatan diatas :

“Itu dikarenakan sesungguhnya Allah adalah satu-satunya Tuhan Yang Haq, dan sesungguhnya apa yang mereka seru selain Dia adalah bathil” (Luqman : 30)

juga firmanNya Ta'ala :

Itu dikarenakan sesungguhnya Allah adalah satu-satunya Tuhan Yang Haq dan sesungguhnya apa yang mereka seru selainNya adalah yang bathil” (Al Hajj : 62)

Allah adalah Tuhan yang haq, peribadatan kepada-Nya adalah haq, penyandaran kewenangan pembuatan hukum/undang-undang kepada-Nya adalah haq, hukum/undang-undang Allah adalah haq dan mengikuti hukum/undang-undang yang Allah turunkan adalah haq. Sedangkan sembahan dan para pembuat hukum selain Allah adalah bathil, peribadatan kepada selain Allah adalah bathil, penyandaran kewenangan pembuatan hukum kepada selain Allah adalah bathil, hukum dan undang-undang selain yang Allah turunkan adalah bathil, serta mengikuti hukum dan undang-undang tersebut adalah kebathilan.

II.      Engkau meninggalkannya

       Meyakini perbuatan syirik itu adalah bathil belumlah cukup, namun harus disertai meninggalkan perbuatan syirik itu. Orang yang meyakini pembuatan tumbal/sesajen itu bathil, akan tetapi karena takut akan dikucilkan masyarakatnya lalu ia melakukan hal tersebut, maka dia tidak kufur terhadap thaghut. Orang yang meyakini bahwa demokrasi itu syirik, tetapi dengan dalih ‘Mashlahat Dakwah’ lalu ia masuk ke dalam sistem demokrasi tersebut, maka dia tidak kufur terhadap thaghut. Seperti orang yang membuat partai-partai berlabel Islam dalam rangka ikut dalam ‘Pesta Demokrasi’

Sesungguhnya kufur terhadap thaghut menuntut seseorang untuk meninggalkan dan berlepas diri dari kemusyrikan tersebut. Ini berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah dan IJma para ulama.

Adapun Al Qur’an di antaranya adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:

“Sesungguhnya mereka dahulu bila dikatakan kepada mereka  Laa ilaaha illallaah ilaaha illallaah, mereka menyombongkan diri (tidak mau menerima), dan mereka berkata:”Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan tuhan-tuhan kami karena seorang penyair gila?”(Ash Shaaffaat:35-36).

Di dalam ayat ini orang-orang kafir arab paham bahwa konsekuensi mereka bila mengucapkan laa ilaaha illallaah adalah harus meninggalkan segala bentuk kemusyrikan, sedangkan mereka merasa keberatan dengannya maka mereka menolak untuk mengucapkannya.

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya : “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian ibadati…” (Az Zukhruf : 26-27)

Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda : “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi akan laa ilaaha ilallaah…” (Muttafaq ‘alaih)

Sedangkan orang yang tidak meninggalkan syirik akbar, maka dia itu tidak dianggap syahadatnya, karena yang dia lakukan bertentangan dengan apa yang dia ucapkan, oleh sebab itu Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata : “dan siapa yang bersyahadat laa ilaaha ilallaah, namun di samping ibadah kepada Allah, dia beribadah kepada yang lain juga, maka syahadatnya tidak dianggap meskipun dia shalat, shaum, zakat dan melakukan amalan Islam lainnya” (Ad Durar As Saniyyah : 1/323, & Minhajut Ta’sis : 61).

Ketika Abu Thalib mau meninggal dunia, di mana dia itu mengakui kebenaran dakwah Rasul dan bahkan ikut melindungi Rasulullah, Rasulullah dating sedang di sisi Abu Thalib sudah ada abu Jahal dan Abdullah Ibnu Abi Umayyah. Rasulullah berkata kepadanya: “Wahai paman, ucapkanlah Laa ilaaha illallaah ilaaha illallaah, suatu kalimat yang akan saya jadikan hujjah untuk membelamu di sisi Allah!” Maka keduanya (Abu Jahal dan Abdullah Ibnu Abi Umayyah) berkata kepadanya:”Apakah kamu (Abu Thalib)  tidak suka ajaran Abdul Muthallib? Maka Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam mengulanginya dan mereka berduapun mengulangi ucapannya. Maka akhir ucapan Abu Thalib adalah bahwa ia di atas ajaran Abdul Muthallib dan enggan menucapkan laa ilaaha illallaah.”(HR Al Bukhari dan Muslim).

Di sini mereka paham bahwa konsekuensi pengucapan laa ilaaha illallaah aadalah meninggalkan segala kemusyrikan. 

Syaikh ‘Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata : “Ulama berijma, baik ulama salaf maupun khalaf dari kalangan para shahabat dan tabi’in, para imam dan semua Ahlus Sunnah bahwa orang tidak dianggap muslim, kecuali dengan cara mengosongkan diri dari syirik akbar dan melepaskan diri darinya…” (Ad Durar As Saniyyah : 11/545).

Syaikh Sulaiman Ibnu ‘Abdillah Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam kitab beliau Taisir Al ’Aziz Al Hamid : “Sekedar mengucapkan Laa ilaaha illallaah tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan konsekuensinya berupa komitmen dengan tauhid, meninggalkan segala bentuk syirik akbar dan kafir terhadap thaghut maka pengucapan Laa ilaaha illallaah-nya tersebut tidak bermanfaat berdasarkan ijma para ulama”.

Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah berkata : “Para ‘ulama ijma, bahwa siapa yang memalingkan sesuatu dari dua macam do’a kepada selain Allah, maka dia telah musyrik meskipun dia mengucapkan Laa ilaaha ilallaah Muhammadurrasulullah, dia shalat, shaum dan mengaku muslim” (Ibthal At Tandid : 76).

Orang yang melakukan syirik akbar meskipun tujuannya baik maka dia tetap belum kufur terhadap thaghut.

Al Imam Su’ud Abdil Aziz Ibnu Muhammad Ibnu Su’ud rahimahullah berkata : “Orang yang memalingkan sedikit dari (ibadah) itu kepada selain Allah maka dia itu musyrik, sama saja dia itu ahli ibadah atau orang fasik, dan sama saja maksudnya itu baik ataupun buruk” (Durar As Saniyyah: 9/270).

Syaikh ‘Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata : “Orang tidak disebut muwahhid kecuali dengan cara menafikan syirik dan bara’ah darinya”

Jadi, orang yang tidak meninggalkan syirik, dia tidak kufur terhadap thaghut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Materi majalah ke 3

Kufur Kepada Thaghut

(Bagian Kedua)

III.        Engkau Membencinya

Orang yang meninggalkan perbuatan syirik akan tetapi dia tidak membencinya, maka dia belum kufur terhadap thaghut. Ini dikarenakan Allah mensyaratkan adanya kebencian terhadap syirik dalam merealisasikan tauhid kepadaNya. Allah Ta’ala berfirman tentang Ibrahim ‘as. :

“Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian ibadati (Az Zukhruf : 26)

Kata bara’ (berlepas diri) dari syirik itu menuntut adanya kebencian akan adanya syirik itu. Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam  bersabda : “Ikatan iman yang paling kokoh adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah”(HR Ahmad dari Al Bara Ibnu ‘Azib).

          Kebencian terhadap syirik ini berbentuk realita, yaitu tidak hadir di majelis syirik saat syirik sedang berlangsung. Sebagai contoh : Orang yang hadir di tempat membuat atau mengubur tumbal yang sedang dilakukan, maka dia itu sama dengan pelakunya. Allah Ta'ala berfirman :

“Dan sungguh Dia telah menurunkan kepada kalian dalam Al Kitab, yaitu bila kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok, maka janganlah kalian duduk bersama mereka sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain, karena sesungguhnya kalian (bila duduk bersama mereka saat hal itu dilakukan), berarti sama (status) kalian dengan mereka” (An Nisa : 140)

Jadi orang yang duduk dalam majelis di mana kemusyrikan atau kekufuran sedang berlangsung atau sedang dilakukan atau dilontarkan (diucapkan) dan dia duduk tanpa dipaksa dan tanpa mengingkari hal tersebut maka dia sama kafir dan musyrik seperti para pelaku kemusyrikan tersebut walaupun dia mengaku benci dengan hatinya. 

          Seandainya kalau tidak dapat mengingkari dengan lisannya, maka hal  tersebut harus diingkari dengan hatinya yang berbentuk sikap meninggalkan majelis tersebut. Sungguh sebuah kesalahan fatal orang yang mengatakan : “Saya ingkar dan benci di hati saja”  sedangkan dia tidak pergi meninggalkan majelis tersebut.

          Oleh karenanya para shahabat pada masa khalifah Utsman radliyallahu 'anhu ber-ijma atas kafirnya seluruh jama’ah mesjid di kota Kuffah yang berjumlah 170 orang saat salah seorang diantara mereka mengatakan : “Saya menilai apa yang dikatakan Musailamah itu bisa jadi benar” dan yang lain -yang hadir di mesjid- tidak mengingkari ucapannya atau tidak  pergi darinya. (Riwayat para penyusun As Sunan / Ashhabus Sunan)

          Orang yang tidak membenci ajaran syirik, agama kuffar, system kafir, dan thaghut berarti ia tidak kufur terhadap thaghut.

 

IV.         Engkau Mengkafirkan Pelakunya.

Kita harus mengkafirkan para pelaku syirik akbar karena 2 hal:

Pertama: Karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah mengkafirkan para pelaku syirik akbar dalam banyak ayat, diantaranya :

“Dan orang-orang yang menjadikan sembahan-sembahan selain Allah, (mereka mengatakan) : “Kami tidak beribadah kepada mereka, melainkan supaya mereka itu mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah memutuskan diantara mereka dihari kiamat dalam apa yang telah mereka perselisihkan, sesungguhnya Allah tidak memberikan  petunjuk kepada orang yang dusta lagi sangat kafir” (Az Zumar : 3)

Dan firmanNya Ta’ala :

“Dan siapa yang menyeru ilaah yang lain bersama Allah yang tidak ada bukti dalil kuat buat itu baginya, maka perhitungannya hanyalah disisi Rabnya, sesungguhnya tidak beruntung orang-orang kafir itu” ( Al Mukminun : 117)

Bila Allah mengkafirkan para pelaku syirik, maka orang yang tidak mengkafirkan mereka berarti tidak membenarkan Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa di dalam vonis-Nya.

Kedua: Karena Dia Subhanahu Wa Ta'ala telah memerintahkan untuk mengkafirkan para pelaku syirik, diantaranya adalah firmanNya :

“Dan dia menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah supaya dia menyesatkan dari jalanNya, katakanlah, “Nikmatilah kekafiranmu sebentar, sesungguhnya kamu tergolong penghuni neraka”    (Az Zumar :

          Dan orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik, berarti dia menolak perintah Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa.

Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam besabda : “Siapa yang mengucapkan Laa ilaaha ilallaah dan dia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya, sedangkan perhitungannya adalah atas Allah(HR. Muslim)

Para imam dakwah Najdiyyah telah menjelaskan maksud sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam,  Dan dia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah”,  maksud  kalimat tersebut adalah : Mengkafirkan pelaku syirik dan berlepas diri dari mereka dan dari apa yang mereka ibadati (Ad Durar As Saniyyah: 9/291).

Orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik akbar adalah orang yang tidak kufur kepada thaghut.

Al Imam Al Barbahari rahimahullah berkata:” Tidak seorangpun dari ahli kiblat ini boleh dikeluarkan dari Islam, sehingga dia menolak stu ayat dari Al Qu’an atau sesuatu dari atsar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam, atau shalat (beribadah) kepada selain Allah atau menyembelih untuk selain-Nya, dan barangsiapa melakukan sesuatu dari hal itu maka telah wajib atas kamu untuk mengeluarkan dia dari Islam.”(Syarhus Sunnah no:49)

          Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata : “Orang yang tidak mengkafirkan para pelaku syirik atau ragu akan kekafiran mereka atau membenarkan ajaran mereka, maka dia telah kafir” (Risalah Nawaqidlul Islam, Majmu’atut Tauhid:24)

          Syaikh ‘Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata : “Seseorang tidak menjadi muwahhid kecuali dengan menafikan syirik, berlepas diri darinya dan mengkafirkan pelakunya” (Syarh Ashli Dienil Islam - Majmu’ah Tauhid:29)

          Syaikh ‘Abdul Lathif Ibnu ‘Abdirrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata : “Dan sebahagian ulama memandang bahwa hal ini (mengkafirkan pelaku syirik) dan jihad diatasnya adalah salah satu rukun yang mana Islam tidak tegak tanpanya” (Mishbahuzh Zhallam : 28).

Beliau berkata lagi : [“Adapun menelantarkan jihad dan tidak mengkafirkan orang-orang murtad, orang yang menjadikan andaad (tandingan-tandingan) bagi Tuhannya, dan orang yang mengangkat andaad dan arbaab (tuhan-tuhan) bersamaNya, maka sikap seperti ini hanyalah ditempuh oleh orang yang tidak beriman kepada Allah dan RasulNya, tidak mengagungkan perintahNya, tidak meniti jalanNya dan tidak mengagungkan Allah dan RasulNya dengan pengagungan yang sebenar-benarnya, bahkan dia itu tidak menghargai kedudukan ulama dan para imam umat ini dengan selayaknya” (Mishbahuzh Zhalam :29)]

Para imam dakwah Nejd berkata : “Di antara hal yang mengharuskan pelakunya diperangi adalah sikap tidak mengkafirkan pelaku-pelaku syirik atau ragu akan kekafiran mereka karena sesungguhnya hal itu termasuk pembatal dan penggugur keIslaman. Siapa yang memiliki sifat ini maka dia telah kafir, halal darah dan hartanya serta wajib diperangi sehingga dia mengkafirkan para pelaku syirik” (Ad Durar As Saniyyah: 9/291)

Mereka juga mengatakan : “Sesungguhnya orang yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik adalah dia itu tidak membenarkan Al Qur’an, karena sesungguhnnya Al Qur’an telah mengkafirkan para pelaku syirik dan memerintahkan untuk mengkafirkan mereka, memusuhi mereka dan memerangi mereka” (Ad Durar As Saniyyah: 9/291)

Jadi, takfir (mengkafirkan) para pelaku syirik adalah bagian Tauhid dan pondasi dien ini, bukan fitnah sebagaimana yang diklaim oleh musuh-musuh Allah dari kalangan ‘ulama suu’ (ulama jahat) kaki tangan thaghut dan kalangan neo murji-ah. Orang yang mengkafirkan pelaku syirik bukanlah Khawarij, justeru mereka itu adalah penerus dakwah  para rasul. Orang yang menuduh mereka sebagai Khawarij adalah orang yang tidak paham akan dakwah para rasul.

Syaikh ‘Abdul Lathif Ibnu ‘Abdirrahman rahimahullah berkata : “Siapa yang menjadikan pengkafiran dengan syirik akbar termasuk ‘aqidah Khawarij maka sungguh dia telah mencela semua rasul dan (ulama) umat ini, dia tidak bisa membedakan antara Dien para rasul dengan madzhab Khawarij, dia telah mencampakkan nash-nash Al Qur’an dan dia mengikuti selain jalan kaum mu’minin” (Mishbahuzh Zhallam : 72)

Orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik akbar secara nau’ (jenis pelaku) maka dia kafir, sedangkan orang yang membedakan antara nau’ dengan mu’ayyan (orang tertentu) maka minimal jatuh dalam bid’ah dan bila (sudah) ditegakkan  hujjah kepada orang yang tidak mau mengkafirkan pelaku syirik secara ta’yin itu maka dia kafir juga, karena mendustakan vonis Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa.

Orang yang tidak mau mengkafirkan para pelaku syirik, akbar pada umumnya dia lebih loyal kepada pelaku syirik itu dan justru memusuhi para muwahhid yang mengkafirkan pelaku syirik. Demikianlah realita yang terjadi, sehingga banyak yang jatuh dalam kekafiran. Banyak orang yang tidak mengkafirkan para penguasa murtad, dan pada akhirnya mereka tawalli kepada para penguasa kafir murtad itu.

Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata : “ Siapa yang membela-bela mereka (para thaghut dan pelaku syirik akbar) atau mengingkari terhadap orang yang mengkafirkan mereka, atau mengklaim bahwa : ‘perbuatan mereka itu meskipun bathil tetapi tidak mengeluarkan mereka pada kekafiran’, maka status minimal orang yang membela-bela ini adalah fasiq, tidak diterima tulisannya, tidak pula kesaksiannya, serta tidak boleh shalat bermakmum dibelakangnya” (Ad Durar As Saniyyah : 10/53)

Ini adalah status minimal, adapun kebanyakan berstatus sebagaimana yang digambarkan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah : [“Orang-orang yang merasa keberatan dengan masalah takfir (pelaku syirik akbar), bila engkau mengamati mereka ternyata kaum muwahhidin adalah musuh mereka, mereka benci dan dongkol kepada para muwahhid itu. Sedangkan para pelaku syirik dan munafiqin adalah teman mereka yang mana mereka bercengkrama dengannya. Akan tetapi hal seperti ini telah menimpa orang-orang yang pernah bersama kami di Dir’iyyah dan ‘Uyainah yang mana mereka murtad dan benci akan dien ini” (Ad Durar As Saniyyah : 10/92)]

 

V.   Engkau Memusuhi Mereka

          Kita harus memusuhi orang-orang kafir karena 2 alasan:

Pertama: Karena Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa telah mencap orang-orang kafir itu sebagai musuh, sebagaimana firman-Nya Subhaanahu Wa Ta'aalaa:

Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.”(An Nisa:101).

Kedua: Karena Allah telah memerintahkan kita untuk memusuhi mereka, sebagaimana firman-Nya:

“Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh bagi kalian, maka jadikanlah dia sebagai musuh.”(Fathir:6).

Sedangkan syaithan itu ada dua, syaithan manusia (yaitu orang kafir) dan syaithan jin (yaitu jin kafir), sebagaimana firman-Nya Subhaanahu Wa Ta'aalaa:

“Dan demikianlah, Kami telah jadikan musuh bagi setiap nabi itu, yaitu syathan-syaithan manusia dan (syaithan-syaithan) jin.”(Al An’am:112).

Orang yang tidak memusuhi pelaku syirik bukanlah orang yang kufur kepada thaghut, Allah berfirman tentang ajaran Ibrahim shallallaahu 'alaihi wasallam dan para nabi yang bersamanya :

“Dan tampak antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian selamanya hingga kalian beriman kepada Allah saja” (Al Mumtahanah : 4)

dan firmanNya Ta’ala :

“Kalian tidak mungkin mendapatkan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan RasulNya, meskipun mereka itu ayah-ayahnya, anak-anaknya, saudara-saudaranya atau karib kerabatnya” (Al Mujaadilah : 22)

Syaikh Muhammad rahimahullah mengatakan : [Sesungguhnya orang tidak tegak keIslamnnya walaupun ia mentauhidkan Allah dan meninggalkan kemusyrikan kecuali dengan memusuhi para pelaku syirik…..”] (Syarh Sittati Mawadli Minas Sirah, Majmu’ah Tauhid : 21)

          Permusuhan lawannya adalah loyalitas kepada orang kafir. Menafikan (meniadakan) keimanan/ tauhid, Allah Ta’ala berfirman :

“Dan siapa yang berloyalitas kepada mereka (orang-orang kafir) di antara kalian, maka sesungguhnya dia adalah bagian dari mereka” (Al Maidah : 51)

Karena permusuhan ini Allah Ta’ala berfirman :

“Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu dimanapun kalian mendapati mereka, tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah mereka ditempat pengintaian” (At Taubah : 5)

 

Demikianlah tata cara kufur kepada thaghut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Materi majalah ke 4

 

KE DUA : Iman Kepada Allah

 

Adapun makna iman kepada Allah adalah :

I.        Engkau meyakini bahwa Allah  adalah satu-satunya ilaah yang berhak diibadahi

II.      Engkau memurnikan seluruh macam ibadah hanya kepada Allah

III.   Engkau menafikan ibadah itu dari selain Allah

IV.    Engkau mencintai lagi loyal kepada orang yang bertauhid

V.      Serta engkau membenci lagi memusuhi para pelaku syirik

Penjelasannya adalah sebagai berikut :

 

I.    Engkau meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya ilaah yang berhak diibadati

Orang yang membolehkan tumbal, sesajen, permohonan kepada orang yang sudah meninggal atau meyakini serta memegang sistem demokrasi berarti dia telah meyakini adanya ilaah yang lain bersama Allah, mereka tidak beriman kepada Allah. Orang yang menyerukan penegakan hukum thaghut atau menyerukan demokrasi, dia itu tidak beriman kepada Allah, begitu juga orang yang menyerukan hukum adat. Orang yang meyakini bahwa ada yang berhak membuat hukum dan undang-undang selain Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa maka dia itu meyakini bahwa ada tuhan selain Allah yang berhak diibadati dengan ketaatan, sehingga dia itu tidak dikatakan telah beriman kepada Allah walaupun dia itu mengaku telah beriman kepada-Nya.

Orang yang bertauhid hanya meyakini satu sumber hukum, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Orang yang bertauhid hanya meyakini satu Dzat yang berhak diibadati. Allah  Ta'ala berfirman :

“Katakanlah ; “Dialah  Allah Yang Maha Esa” (Al Ikhlas : 1)

Dan firmanNya Ta'ala :

“Janganlah engkau mengangkat dua tuhan, Dia itu hanyalah Tuhan Yang Maha Esa” (An Nahl : 51).

Dan Dia Ta’ala berfirman:

Hak menetapkan hukum itu hanyalah di Tangan Allah.”(Yusuf:40).

Sedangkan tuhan-tuhan para ‘Ubadul Qubur adalah banyak, yaitu orang-orang yang sudah mati yang mereka ajukan permohonan (permintaan) kepadanya. Dan adapun tuhan-tuhan para pengusung demokrasi dan para penyembah undang-undang adalah banyak pula, ada tuhan dari Partai A, Partai B, Partai C dan seterusnya, di mana para pembuat hukum itu adalah tuhan-tuhan mereka.

 

II.  Engkau memurnikan seluruh macam ibadah hanya kepada Allah.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala bukan memerintahkan ibadah kepadaNya, akan tetapi Dia memerintahkan supaya orang hanya ibadah kepadaNya, dan tidak mempersekutukan sesuatupun denganNya dalam ibadah-ibadah tersebut, sebagaimana firmanNya :

“Dan mereka tidak diperintahkan kecuali supaya mereka beribadah kepada Allah seraya memurnikan seluruh Dien (ketundukan) hanya kepadaNya” (Al Bayyinah : 5)

juga firmanNya Ta’ala :

“Dan barangsiapa yang menyerahkan wajahnya sepenuhnya kepada Allah sedang dia itu muhsin (mengikuti tuntunan rasul), maka dia itu telah berpegang pada buhul tali yang sangat kokoh (tauhid/Islam)” (Luqman : 22)

Menyerahkan wajah sepenuhnya kepada Allah adalah dengan cara beribadah hanya kepada Allah, sebagaimana Dia Ta’ala berfirman :

“Ya, siapa orangnya yang menyerahkan wajahnya sepenuhnya kepada Allah, sedang dia muhsin (berbuat kebaikan) maka bagi dia pahala disisi Tuhannya, tidak ada rasa takut atas mereka dan mereka itu tidaklah bersedih” (Al Baqarah : 112)

Syaikh ‘Abdul Lathif Ibnu ‘Abdirrahman rahimahullah berkata : “Ayat ini adalah bantahan terhadap ‘ubbadul qubur yang menyeru selain Allah dan beristighatsah kepada selainNya, karena penyerahan wajah serta ihsan dalam beramal itu tidak ada pada diri mereka” (Minhaj At Ta’sis:70)

          ‘Ubbadul qubur adalah orang-orang yang mengaku Islam, shalat, zakat, shaum, haji, dsb, tetapi masih suka meminta kepada orang yang sudah mati, terutama orang shalih atau wali atau orang-orang yang beribadah kepada tuhan yang lain di samping mereka beribadah kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa. Jadi ‘ubbadul qubur adalah kaum musyrikin.

          Syaikh Ali Al Khudlair di awal kitab Ath Thabaqat menyebutkan bahwa di antara golongan yang termasuk ‘ubbadul qubur adalah : Para penyembah penguasa (thaghut), para penganut ideologi-ideologi dan falsafah-falsafah (kafir), para penyembah negara-negara kafir, para budaknya, para penganut sistim-sistim kafir, para hamba hukum dan perundang-undangan buatan, serta yang lainnya.(Al Wasith:3).

 Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Hak Allah atas hamba-hambaNya adalah mereka beribadah kepadaNya dan mereka tidak menyekutukan sesuatupun denganNya” (HR Al Bukhari dan MUslim dari Mu’adz Ibnu Jabal)

          Orang yang berbuat syirik, berarti dia telah melanggar hak Allah. Subhaanahu Wa Ta'aalaa. Jelasnya bahwa orang yang mengaku beriman pada rukun iman, rukun Islam dan dia beribadah kepada Allah, akan tetapi di samping itu dia membuat tumbal, sesajen, memohon kepada penghuni kubur atau membuat hukum dan undang-undang atau menyandarkan kewenangan pembuatan hukum kepada selain Allah atau mengkomitmeni undang-undang buatan atau membelanya, maka mereka itu dianggap tidak beriman kepada Allah (dia bukan muslim). Syaikh ‘Adurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata : [Para ulama telah berijma, baik salaf maupun khalaf dari kalangan shahabat, tabi’in, para imam dan seluruh Ahlus Sunnah bahwa seseorang tidak dianggap muslim, kecuali dengan cara (dia) mengosongkan diri dari syirik akbar, berlepas diri darinya dan dari pelakunya, membenci mereka, memusuhi mereka sesuai kekuatan dan kemampuan, serta memurnikan amalan seluruhnya bagi Allah” (Ad Durar As Saniyyah : 11/545)]

          Perkataan seseorang : ”Saya beriman kepada Allah dan saya bukan musyrik” tidaklah bermanfaat bila ternyata realita syirik ada padanya, oleh sebab itu Al Hasan Al Bashri rahimahullah berkata : [Iman itu bukan angan-angan dan bukan dengan hiasan, akan tetapi ia adalah apa yang terpatri di dalam hati dan dibenarkan dengan amalan]

 

III.    Menafikan ibadah itu dari selain Allah

          Orang yang beriman kepada Allah tidak mungkin memalingkan satu macam ibadahpun kepada selain Allah, karena orang yang memalingkan satu saja ibadah kepada selain Allah, berarti telah meninggalkan Islam. Oleh sebab itu Allah Ta’ala memerintahkan kepada nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam untuk mengatakan kepada orang-orang kafir : “Aku tidak beribadah kepada apa yang kalian ibadahi” (Al Kaafirun : 2).

Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah berkata: Ulama telah ijma bahwa barangsiapa memalingkan satu macam ibadah kepada selain Allah maka dia itu telah musyrik, walaupun dia itu mengucapkan laa ilaaha illallaah, dan walaupun dia itu shalat, shaum serta mengaku muslim. (Ibthalut Tandid:76).

 

IV.     Engkau Mencintai Dan Loyal (Wala) Kepada Orang Yang Bertauhid

          Orang yang beriman kepada Allah pasti mencintai dan loyal kepada orang yang bertauhid, karena mereka memiliki ikatan persaudaran diatas dien ini, Allah Ta'ala berfirman :

"Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara” (Al Hujurat : 10)

dan firmanNya dalam ayat yang lain :

“Orang-orang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan sebahagiannya adalah penolong bagi sebahagian yang lain” (At Taubah : 71)

Oleh sebab itu, tidak mungkin orang mukmin mendukung orang-orang kafir dalam rangka menghancurkan kaum muslimin karena itu bertentangan dengan wala (loyalitas) terhadap kaum muslimin.

 

V.   Engkau membenci pelaku-pelaku syirik dan memusuhi mereka

           Allah mengatakan tentang ucapan para rasul semua-Nya yang harus kita ikuti :

“Dan tampaklah antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian selama-lamanya sehingga kalian beriman kepada Allah saja…” (Al Mumtahanah : 4)

Orang yang tidak membenci dan tidak memusuhi pelaku syirik adalah orang yang tidak beriman kepada Allah.

          Falsafah yang mengajarkan agar tidak membenci atau tidak memusuhi ajaran agama lain adalah falsafah kafir. Sistem yang menyamakan semua ajaran agama adalah system syirik. Orang yang bertauhid pasti membenci dan memusuhi pelaku syirik meskipun ayah sendiri atau anak sendiri.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: Dan tidak selamat dari jeratan syirik akbar ini kecuali orang yang memurnikan tauhid kepada Allah dan memusuhi kaum musyrikin karena Allah dan mendekatkan diri kepada Allah dengan membenci mereka. (Dari Mufudul Mustafid Fi Kufri Tarikit Tauhid, Tarikh Nejed:371)

Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata : [Sesungguhnya keislaman itu tidak sah kecuali dengan memusuhi para pelaku syirik akbar, dan bila dia tidak memusuhi mereka maka dia itu termasuk bagian dari mereka walaupun dia tidak melakukan syirik itu](Mufidul Mustafid Fi Kufri Tarikit Tauhid, lihat Tarikh Nejed:372).

          Raihlah iman dengan cara memusuhi para pelaku syirik.

          Inilah penjelasan makna Iman kepada Allah.

 

 

 

 

 

 

 

Materi majalah ke 5

Kandungan

Laa ilaaha illallaah

Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya seluruhnya. Wa ba’du :

Apa yang dikandung oleh Laa ilaaha illallaah sebagaimana apa yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah di dalam RISALAH FI KALIMATIT TAUHID di dalam kitab FI ‘AQAAIDIL ISLAM (hal:34) adalah   menafikan atau meniadakan empat hal, maksudnya orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah, dikatakan memegang Laa ilaaha illallaah dan dikatakan muslim-mukmin adalah apabila dia meninggalkan atau menjauhi, atau berlepas diri dari empat hal, yaitu :

  1. Alihah (Sembahan-sembahan)
  2. Arbab  (tuhan-tuhan pengatur)
  3. Andad (tandingan-tandingan)
  4. Thaghut

Jadi Laa ilaaha illallaah menuntut kita untuk berlepas diri, menjauhi, meninggalkan empat hal tadi dan kita akan membahas satu demi satu dari keempat hal tersebut.

1.    Alihah

Alihah adalah jamak daripada ilah, yang artinya tuhan. Jadi Laa ilaaha illallaah ketika kita mengucapkannya : tidak ada ilah, tidak ada tuhan yang diibadati kecuali Allah, berarti menuntut dari kita untuk meninggalkan ilah-ilah selain Allah (tuhan-tuhan selain Allah) dan yang penting bagi kita di sini adalah memahami apa makna ilah. Karena kalau kita melihat realita orang yang melakukan kemusyrikan pada zaman sekarang, mereka tidak menamakan apa yang mereka ibadati selain Allah itu sebagai ilah (sebagai tuhan) akan tetapi dengan nama-nama yang lain. Kalau kita memahami makna ilah, maka kita akan mengetahui bahwa apa yang dilakukan oleh si fulan atau masyarakat fulani itu adalah mempertuhankan selain Allah.

Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata bahwa ilaah adalah : Apa yang engkau tuju dengan sesuatu hal dalam rangka mencari kebaikan atau menolak bahaya, maka engkau telah menjadikannya sebagai ilaah.”

Kalimat “dengan sesuatu hal” adalah suatu tindakan atau suatu perbuatan.

Contoh 1 :

          Batu besar (ini adalah sesuatu), lalu orang datang menuju ke batu besar tersebut dengan sesajen, bisa berbentuk cerutu, kopi pahit, “rerujakan” (sebutan  salah satu bentuk sesajian dalam masyarakat suku Sunda, ed.), bekakak ayam atau apa saja. Batu ini adalah sesuatu yang dituju oleh orang tersebut dengan suatu hal tadi (sesajian, cerutu, dll) dan pemberian sesajen ini pasti ada maksudnya, karena tidak mungkin seseorang menyimpan sesajen-sesajen pada batu besar tersebut dengan tujuan agar dimakan semut, tidak… tentu bukan itu maksudnya, akan tetapi maksudnya adalah sebagai bentuk mencari manfaat atau tolak bala. Misalnya minta dijauhkan dari bala (bencana), karena menurut keyakinannya bahwa pada batu besar itu ada yang penunggunya.

Ketika orang tadi melakukan ‘tindakan’ pemberian sesajen pada batu besar itu dengan persembahan-persembahan tadi dalam rangka tolak bala atau minta manfaat, berarti batu besar ini adalah ilah yang dipertuhankan selain Allah, sehingga pengucapan Laa ilaaha illallaah-nya adalah tidak benar… bohong !, dengan kata lain orang tersebut belum muslim, meskipun dia shalat, shaum, zakat, haji, dan lainnya.

Contoh 2 :

           Pohon besar, dituju oleh seseorang atau masyarakat dengan sesuatu hal tadi (sesajen-sesajen). Pasti ada maksudnya, kalau bukan tolak bala berarti meminta manfaat.

          Berarti pohon besar itu dipertuhankan selain Allah dengan kata lain bahwa orang yang melakukannya itu telah melanggar Laa ilaaha illallaah atau bermakna dia belum muslim, karena seharusnya dia meninggalkan hal itu.

Contoh 3 :

          Nyi Roro Kidul… biasanya orang pantai selatan, mereka datang ke pantai ‘menuju’ Nyi Roro Kidul dengan suatu hal seperti “Pesta Laut”, dengan cara melemparkan makanan-makanan ke laut sebagai persembahan kepada Nyi Roro Kidul, kata mereka ada maksudnya… Apakah itu ? Yaitu tolak bala atau cari manfaat, di antaranya mereka ingin mendapat keselamatan jika sedang melaut, tidak diterpa badai atau kecelakaan lainnya, sekaligus diberi tangkapan ikan yang melimpah.

Contoh 4 :

          Orang mau membuat rumah, di mana kata masyarakat bahwa di daerah yang akan dibangun rumah itu terdapat jin penunggunya. Ketika membuat rumah, maka orang tersebut menuju sesuatu itu (jin) dengan sesuatu hal berupa tumbal (seperti : memotong ayam lalu dikubur sebelum dibuat pondasi rumah) agar tidak diganggu oleh jin tersebut.

Contoh 6 :

          Kuburan adalah sesuatu, kemudian dituju oleh orang tersebut dengan sesuatu. Ada yang minta jodoh kepada penghuni kubur tersebut, bahkan ada yang minta do’anya (sedangkan meminta do’a kepada yang sudah meninggal adalah tidak dibolehkan), berarti kuburan ini adalah sesatu yang dituju oleh orang tadi dalam rangka meminta manfaat, minta jodoh, minta rizqi, atau minta do’a, ada juga yang minta agar dijauhkan dari bala. Berarti kuburan tersebut telah dipertuhankan, telah dijadikan sekutu Allah, dan para pelakunya adalah orang-orang  musyrik…

          Walaupun batu besar, pohon besar, atau kuburan keramat itu tidak disebut tuhan, akan tetapi hakikat perbuatan mereka itu adalah mempertuhankan selain Allah. Maka orang-orang yang melakukan hal itu adalah bukan orang-orang muslim. Dan kalau kita hubungkan dengan realita, ternyata yang melakukan hal itu umumnya adalah orang yang mengaku muslim. Mereka itu sebenarnya bukan muslim tapi masih musyrik.

          Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengatakan tentang orang-orang kafir Arab, karena di antara kebiasaan mereka adalah menjadikan Latta sebagai perantara, mereka memohon kepada Latta ~yang dahulunya orang shalih~ untuk menyampaikan permohonan mereka kepada Allah. Ketika mereka diajak untuk mengatakan dan komitmen dengan Laa ilaaha illallaah maka mereka menolaknya, Allah Ta’ala berfirman :

öNåk¨XÎ) (#þqçR%x. #sŒÎ) Ÿ@‹Ï% öNçlm; Iw tm»s9Î) žwÎ) ª!$# tbrçŽÉ9õ3tGó¡o„ ÇÌÎÈ tbqä9qà)tƒur $¨Zͬr& (#þqä.͑$tGs9 $oYÏGygÏ9#uä 9Ïã$t±Ï9 ¥bqãZøg¤C ÇÌÏÈ

“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: "Laa ilaaha illallah" (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: "Apakah Sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami Karena seorang penyair gila?" (QS. As Shaaffaat [37] : 35-36)

Dalam ayat ini Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam digelari “penyair gila”, padahal sebelumnya mereka menyebutnya “Al Amin” (yaitu orang jujur lagi terpercaya), mereka memahami bahwa apabila komitmen dengan Laa ilaaha illallaah konsekuensinya adalah meninggalkan ilah-ilah tadi (batu-batu keramat, pohon-pohon keramat, kuburan keramat, dst), sedangkan mereka itu tidak mau meninggalkan kebiasaan-kebiasaan tersebut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Materi majalah ke 6

  1. Arbab 

Ia adalah bentuk jamak dari Rabb, yang artinya tuhan pengatur atau yang mengatur, berarti kalau kata-kata “atur” maka berhubungan dengan aturan, seperti hukum/undang-undang. Jadi Rabb adalah tuhan yang mengatur, yang menentukan hukum atau undang-undang.

Syaikh Muhammad berkata bahwa arbaab adalah: Orang yang memberikan fatwa kepadamu dengan fatwa yang menyelisihi kebenaran dan kamu mentaatinya.

Beliau juga berkata: Barangsiapa mentaati para ulama dan umara dalam pengharaman apa yang telah Allah halalkan atau dalam penghalalan apa yang Allah haramkan maka dia telah menjadikan mereka itu sebagai arbaab.(Kitabut Tauhid, Majmu’atut Tauhid:148).

Kita sebagai makhluq Allah, Dia telah memberikan sarana kehidupan kepada kita, maka konsekuensi sebagai makhluk yang diciptakan Allah adalah beriman bahwa yang berhak menentukan aturan/hukum/undang-undang hanyalah Allah. Jadi Allah disebut Rabbul ‘aalamiin karena Allah yang mengatur alam ini baik secara kauniy (hukum alam) maupun secara syar’iy (syari’at). Sedangkan jika ada orang yang mengaku atau mengklaim bahwa dia berhak membuat hukum/undang-undang/aturan, berarti dia memposisikan dirinya sebagai rabb.

Ketika orang menyandarkan kewenangan pembuatan hukum/undang-undang ini kepada selain Allah, maka dia telah menjadikan mereka itu sebagai arbaab. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

(#ÿrä‹sƒªB$# öNèdu‘$t6ômr& öNßguZ»t6÷dâ‘ur $/$t/ö‘r& `ÏiB Âcrߊ «!$# yx‹Å¡yJø9$#ur šÆö/$# zNtƒötB !$tBur (#ÿrãÏBé& žwÎ) (#ÿr߉ç6÷èu‹Ï9 $Yg»s9Î) #Y‰Ïmºur ( Hw tm»s9Î) žwÎ) uqèd 4 ¼çmoY»ysö7ߙ $£Jt㠚cqà2̍ô±ç„ ÇÌÊÈ  

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah [9] : 31)

          Pada ayat ini Allah memvonis orang Nashara dengan lima vonis :

1.    Orang-orang Nashara tersebut telah mempertuhankan para alim ulama dan pendeta mereka

2.    Mereka telah beribadah kepada selain Allah

3.    Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah

4.    Mereka musyrik

5.    Alim ulama dan pendeta mereka telah memposisikan dirinya sebagai Arbab… sebagai Tuhan

Ketika ayat ini dibacakan di hadapan shahabat ‘Adiy Ibnu Hatim (asalnya beliau ini Nashrani), sedang beliau datang kepada Rasul dalam keadaan masih Nashrani. Ketika mendengar ayat ini dengan vonis-vonis di atas, maka ‘Adiy Ibnu Hatim mengatakan : Kami (maksudnya : dia dan orang-orang Nashrani) tidak pernah beribadah kepada mereka? Maka Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam berkata : “Bukankah alim ulama dan pendeta kalian itu menghalalkan apa yang telah Allah haramkan lalu kalian ikut-ikutan menghalalkannya ? bukankan mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan kemudian kalian juga mengharamkannya ?”, lalu ‘Adiy berkata : “Ya !”, maka Rasul berkata : “Itulah bentuk peribadatan (orang Nashrani) terhadap mereka”. (HR At Tirmidzi dan dinilai hasan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah)

Jadi di sini orang Nashrani menyandarkan kewenangan pembuatn hukum yang merupakan hak khusus Allah kepada para alim ulama dan pendeta, sehingga Allah memvonisnya dengan Vonis-vonis tadi, karena hak pembuatan hukum hanyalah milik Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa.         Dalam ayat yang lain, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

Ÿwur (#qè=à2ù's? $£JÏB óOs9 ̍x.õ‹ãƒ ÞOó™$# «!$# Ïmø‹n=tã ¼çm¯RÎ)ur ×,ó¡Ïÿs9 3 ¨bÎ)ur šúüÏÜ»u‹¤±9$# tbqãmqã‹s9 #’n<Î) óOÎgͬ!$u‹Ï9÷rr& öNä.qä9ω»yfã‹Ï9 ( ÷bÎ)ur öNèdqßJçG÷èsÛr& öNä3¯RÎ) tbqä.Ύô³çRmQ ÇÊËÊÈ

“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (QS. Al An’am [6] : 121)

Ayat ini berkenaan dengan masalah bangkai, dan kita mengetahui bahwa bangkai adalah haram. Dalam ajaran orang-orang kafir Quraisy bangkai adalah sembelihan Allah, dan dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan Al Hakim dengan sanad yang shahih : “Orang-orang Quraisy datang kepada Rasul : “Hai Muhammad, kambing mati siapa yang membunuhnya ?”, beliau berkata : “Allah yang mematikannya”, lalu mereka berkata : “Kambing yang kalian sembelih kalian katakan halal, sedangkan kambing yang disembelih Allah dengan Tangan-Nya yang mulia dengan pisau dari emas (maksudnya bangkai), kalian katakan haram ! berarti sembelihan kalian lebih baik daripada sembelihan Allah”.

Ucapan ini adalah bisikan atau wahyu syaitan kepada mereka dan ketahuilah : “Jika kalian mentaati mereka (ikut setuju dengan hukum dan aturan mereka yang bertentangan dengan hukum dan aturan Allah atau menyandarkan kewenangan pembuatan hukum kepada selain Allah), maka kalian ini orang-orang musyrik”.

Dalam hal ini ketika orang menyandarkan kewenangan pembuatan satu hukum saja kepada selain Allah maka disebut musyrik, dan orang yang membuat hukumnya disebut wali syaitan, dan hukum tersebut pada dasarnya adalah wahyu syaitan atau bisikan syaitan.

          Agar lebih kuat lagi, mari kita lihat firman Allah :

4 ÈbÎ) ãNõ3ßÛø9$# žwÎ) ¬! 4 ttBr& žwr& (#ÿr߉ç7÷ès? HwÎ) çn$­ƒÎ) 4 y7Ï9ºsŒ ßûïÏe$!$# ãNÍh‹s)ø9$# £`Å3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw šcqßJn=ôètƒ ÇÍÉÈ

“...Menentukan hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. Yusuf [12] : 40)

Dalam ayat ini, Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa hak menentukan hukum itu hanyalah milik Allah, hak membuat hukum, aturan, undang-undang hanyalah milik Allah. Dan Allah memerintahkan agar tidak menyandarkan kewenangan pembuatan hukum kecuali kepada Allah. Dan  penyandaran kewenangan hukum itu disebut sebagai ibadah” Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia”. Jika disandarkannya kepada Allah berarti ibadah kepada Allah, sedangkan jika disandarkan kepada selain Allah berarti ibadah kepada selain Allah.

          Jadi Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa hak menetapkan hukum, aturan, undang-undang hanya di Tangan Allah, ketika dipalingkan kepada selain Allah maka itu artinya memalingkan ibadah kepada selain Allah, dengan kata lain adalah syirik dan orangnya disebut musyrik.

          Sekarang… kita hubungkan dengan realita :  Bukankah kita mengenal sistem demokrasi ?! Orang yang ‘berpendidikan’ pasti mengetahui apa makna demokrasi, yaitu pemegang kekuasaan adalah rakyat atau sering pula disebut : dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Jadi, dalam demokrasi pihak yang berdaulat, yang berhak menentukan hukum itu adalah rakyat. Apa yang diinginkan rakyat atau mayoritasnya itu adalah kebenaran yang wajib diikuti, di mana yang berhak memutuskan hukum aturan/undang-undang dalam sistem itu adalah rakyat, yang mana dalam sistem demokrasi perwakilan diwakilkan melalui pemilu (intikhab).

Jika dalam surat Al An’am 121 di saat satu hukum saja dipalingkan kepada selain Allah dihukumi syirik dan yang membuatnya di sebut wali syaithan (Arbab). Maka apa gerangan dengan sistem demokrasi ini, yang mana bukan hanya satu hukum, akan tetapi seluruh hukum dipalingkan dari Allah kepada makhluk (rakyat atau wakilnya yang di parlemen). Jika sekarang kita ingin mengetahui siapa Arbab-Arbab… para pengaku tuhan di NKRI (Negara Kafir Republik Indonesia) ini, maka tinggal membaca kitab Undang Undang Dasar 1945 dan di dalamnya akan didapatkan : Bahwa MPR adalah yang berhak membuat dan merubah UUD, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan Rancangan Undang Undang (RUU) atau akan didapatkan juga pasal : Bahwa Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang… dst. Juga yang berkaitan dengan otonomi daerah: “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintahan setempat diberikan kewenangan membuat Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah”. Itu semua adalah Arbab-Arbab yang ada di Indonesia… Sekali lagi, jika ingin mengetahui siapa Arbab atau para pengaku tuhan maka pahamilah Tauhid lalu baca Undang Undang Dasar 1945, maka akan diketahui bahwa mereka adalah para pengaku tuhan.

Jadi demokrasi ini adalah sistem syirik sedangkan hukum yang muncul dari bingkai demokrasi dalam bentuk apapun itu adalah syari’at demokrasi… syari’at syirik walaupun ~umpamanya~  sanksi “potong tangan” bagi pencuri muncul dalam bingkai demokrasi, maka ia bukan hukum Allah akan tetapi hukum demokrasi, karena munculnya bukan dari Allah, tapi dari sang pembuat hukum yang diakui dalam sistem demokrasi, yaitu rakyat (wakil rakyat) sehingga bukan ayat Al Qur’an lagi yang tertera, akan tetapi : Tap MPR no sekian… atau perpu no sekian… atau perda no sekian, dan seperti itulah yang ada.

Ketika membuatnya : Mereka (partai-partai “Islam”) mengambil dari Al Qur’an  hukum tentang potong tangan, dengan kata lain proposal diambil dari Al Qur’an (dari Allah) kemudian disodorkan kepada ‘tuhan-tuhan’ yang ada di gedung MPR/DPR… disodorkan kepada Arbab-Arbab  itu, setelah itu akan terjadi tarik ulur, jadi hukum Allah disodorkan kepada mereka, karena yang namanya proposal itu muncul berawal dari ‘bawah’ lalu disodorkan ke ‘atas’, dan ketika berada di atas (MPR/DPR) dibahas agar sampai pada kata setuju atau tidak. Jika tidak setuju, maka jelaslah kekafirannya, dan ketika setuju juga jelas kekafirannya, karena hal itu menunjukan bahwa Allah itu tidak diakui sebagai Rabb pengatur, akan tetapi merekalah yang berhak mengatur sehingga hukum Allah membutuhkan persetujuan Arbab !!! dan ketika digulirkan tidak mungkin nantinya sesuai dengan firman Allah surat ini atau ayat sekian… akan tetapi jika yang mengeluarkannya Pemerintah, maka yang keluar adalah perpu no sekian, perda no sekian, jika MPR yang menggulirkannya maka yang yang keluar adalah TAP MPR No sekian, begitulah keadaannya…!!

          Jadi semua itu adalah hukum Arbab. Arbabnya banyak… ada Arbab dari PKS, PBB, PPP, PKB, PAN, PDI, Golkar…dst, mereka itu adalah Arbab. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

Ò>$t/ö‘r&uä šcqè%ÌhxÿtG•B îŽöyz ÏQr& ª!$# ߉Ïnºuqø9$# â‘$£gs)ø9$#

“manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa ? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui". (QS. Yusuf [12] : 39-40)

Ayat “Tuhan-tuhan yang bermacam itu…” maksudnya adalah tuhan-tuhan pengatur atau pembuat hukum yang beraneka ragam, yang banyak dari berbagai golongan, fraksi, utusan daerah, komisi-komisi, dll… dan ayat “yang kalian ibadati” maksudnya adalah mengikuti hukum. “nama-nama yang kalian ciptakan” maksudnya adalah seperti apa yang diibadati oleh para anshar thaghut zaman sekarang berupa Undang Undang Dasar, mereka menciptakannya dan mereka mengibadatinya. Perpu-perpu juga mereka yang membuatnya. KUHP juga mereka yang membuatnya… semua itu adalah nama-nama yang mereka ciptakan sendiri, kitab hukum yang lainnya mereka pula yang membuatnya sendiri lalu mereka juga yang mengibadatinya (mengikutinya).

          Jadi, membuat hukum itu adalah sebagai bentuk membuat tuhan yang akan mereka ibadati. Arbab-Arbab itu adalah pengaku tuhan.

          Supaya lebih dipahami, saya gambarkan… mungkin kita sering mendengar orang memperolok-olokkan Arab Quraisy ketika membuat tuhan dari roti yang terbuat dari adonan yang kemudian diibadati, dan ketika lapar maka tuhan-tuhan itu dimakan, mereka yang memperolok-olok itu mengatakan “Oh… bodoh sekali orang-orang Arab itu, Jahiliyyah banget gitu lo !!”, padahal semua itu  justeru adalah realita yang nyata zaman sekarang. Jika kita sudah paham bahwa Arbab (mereka para pengaku tuhan) adalah tuhan jadi-jadian dan hukum yang diibadati itu juga tuhan (tuhan yang diibadati bukan dengan shalat atau do’a, tapi dengan taat, patuh, dan loyalitas), maka kita akan mendengar bahasa mereka “menggodok undang-undang”, seperti fraksi anu… menggodok undang-undang buruh (umpamanya) fraksi lain tentang perbankan, fraksi yang lain tentang pendidikan, fraksi yang lain tentang keamanan…! Mereka menggodok seperti membuat adonan, tapi mereka menggodok undang-undang dan hukum, bukan adonan roti. Fraksi ini membuat bagian tangannya, fraksi itu membuat kepalanya, yang lain membuat kakinya atau bagian yang lainnya sehingga setelah semuanya digodok dan dicetak sampai menjadi sebuah berhala (seperti berhala dari roti). Ketika hukum dan undang-undang selesai digodok, kemudian digulirkan (menjadi sebuah berhala), maka akan dibuatkan TAP MPR No sekian… atau Perpu No sekian… lalu disosialisasikan ke tengah masyarakat atau kepada aparatur thaghut ini dan kemudian rame-rame diibadati, bukan dengan disembah-sembah seperti shalat atau sujud, akan tetapi dengan ditaati, dirujuk, dijadikan acuan hukum. Kita juga melihat dan mendengar apa yang dikatakan oleh para aparat thaghut, jelas bukan : “Sesuai dengan firman Allah surat anu ayat sekian atau sabda Rasulullah…”, akan tetapi mereka mengatakan : “Sesuai TAP MPR No sekian, atau pasal sekian…!”. Setelah disosialisasikan dan diibadati ramai-ramai oleh para aparat, polisi, jaksa, hakim, dan yang lainnya, kemudian ketika ada celah atau hukum tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, maka berhala yang sudah jadi itu dipotong-potong dan dimakan lagi oleh mereka yang membuatnya dengan bahasa mereka “direvisi atau diamandemen” seperti layaknya tuhan yang terbuat dari roti. Setelah itu kemudian dibuatkan lagi yang baru… digodok lagi… dicetak lagi… sehingga menjadi sebuah berhala baru lagi (hukum dan undang-undang baru), kemudian disembah lagi, dan ketika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan atau ada celah untuk merubah (misalnya karena ada kepentingan politik partai, ed.), maka berhala yang sudah jadi itu dipotong-potong dan dimakan lagi oleh mereka, begitu dan begitu seterusnya…!!!

          Pada gambaran yang lain, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan kitab suci Al Qur’an sebagai pedoman, sebagai aturan bagi orang yang beriman, hal demikian itu adalah sebagi tali Allah yang diulurkan dari sisi-Nya (dari surga) ke bumi. Barangsiapa yang memegangnya maka ia akan sampai kepada Allah, sedangkan kitab-kitab selain Al Qur’an (seperti: KUHP atau kitab hukum dan perundang-undangan lainnya) adalah pada hakikatnya kitab syaitan yang merupakan tali syaitan yang di ulurkan dari neraka, barangsiapa yang memegangnya atau yang mengikutinya, maka akan ditarik oleh syaitan ke dasar neraka.

          Jadi, “kitab-kitab suci” selain Al Qur’an pada dasarnya adalah wahyu syaitan atau ucapan syaitan yang dihasilkan oleh para Arbab (para pengaku tuhan itu).

          Fir’aun mengatakan “Aku adalah tuhan kalian yang tertinggi”, apakah ketika dia mengucapkannya dia mengklaim pencipta langit dan bumi ? atau bahwa dialah yang menyediakan isi dan segala apa yang ada di atasnya ?? Tidak…! dia tidak memaksudkan hal itu, karena masyarakat mengetahui bahwa sebelum Fir’aun telah ada manusia, bahkan masyarakatnya pun mengetahui bahwa Fir’aun sendiri terlahir dari manusia. Akan tetapi ketika dia mengucapkan “Aku adalah tuhan kalian tertinggi” maksudnya adalah tuhan yang hukumnya harus kalian taati… yang mana tidak ada hukum yang harus kalian ikuti kecuali hukum buatan saya !

          Jadi ketika Fir’aun mengatakan hal itu, bukanlah karena dia yang menciptakan manusia atau yang bisa memberikan manfaat atau madharat atau yang bisa memberi anak, tetapi “Sayalah pembuat hukum yang hukumnya harus kalian ikuti…!”.

          Apabila telah paham apa yang diucapkan Fir’aun itu, berarti kita bisa melihat banyak Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang yang mengatakan bahwa hukumnya harus ditaati ! mereka adalah Fara’inah.

Jadi jika kita membaca tentang Fir’aun itu, jangan selalu mengidentikan pada Fir’aun zaman Nabi Musa saja, karena sifat-sifat Fir’aun itu banyak dan Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang justeru mereka itu lebih dahsyat lagi. Apabila Fir’aun zaman dulu membunuh anak laki-laki karena takut suatu hari ada yang menyaingi atau membunuh dia (sesuai dengan mimpinya itu), sedangkan jika anak-anak kecil ~yang masih suci fithrahnya~ dibunuh, maka insya Allah masuk surga, sedangkan Fir’aun zaman sekarang… mereka membunuh fithrah anak-anak kecil dengan didoktrinkan ideologi-ideologi kafir di sekolah-sekolah milik Fir’aun sehingga fithrahnya mati, bukan jasadnya yang dimatikan, akan tetapi fithrahnya yang dimatikan, sedangkan apabila  di waktu kecil fithrah sudah rusak atau mati sampai dia dewasa lalu tidak bertaubat (tidak kembali kepada tauhid) dan dia mati dalam keadaan seperti itu, maka dia akan dijerumuskan ke dalam api neraka… dan ini adalah bahaya !! Sedangkan apabila anak kecil yang mati jasadnya saja, sedang fithrahnya tidak, maka dia masuk surga. Akan tetapi apabila mereka (Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang) itu tidak mampu membunuh fithrahnya sewaktu masa anak-anak, maka setelah dewasa barulah dibunuh jasadnya atau dimasukkan ke penjara-penjara Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang.

Jadi…itulah Fir’aun yang mana dia mengatakan “Akulah tuhan kalian tertinggi” adalah bukan dimaksudkan bahwa dia itu pencipta manusia atau yang menyediakan berbagai sarana kehidupan buat manusia, akan tetapi yang dia maksudkan : “Sayalah pembuat hukum bagi kalian yang hukumya harus kalian ikuti…!”

Bila semua ini kita pahami, maka kita akan melihat bahwa pada zaman sekarang banyak sekali yang seperti Fir’aun.

Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah ketika menjelaskan surat Al An’am : 121 dan At Taubah : 31, mengatakan : “Sesungguhnya setiap orang yang mengikuti aturan, hukum, dan undang-undang  yang menyelisihi apa yang Allah syari’atkan lewat lisan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, maka dia musyrik terhadap Allah, kafir lagi menjadikan yang diikutinya itu sebagai Rabb (Tuhan)”. [Al Hakimiyyah : 56]

          Jadi, kesimpulannya bahwa Arbab adalah orang yang mengaku bahwa dirinya berhak membuat hukum/aturan/undang-undang, dengan kata lain Arbab adalah orang-orang yang mempertuhankan diri, sedangkan orang yang mengikuti hukum buatan para Arbab itu disebut dengan orang musyrik, dan peribadatan kepada Arbab ini adalah bukan dengan shalat, sujud, do’a, nadzar atau istighatsah, akan tetapi dengan mengikuti, mentaati, dan loyalitas terhadapnya. Sehingga pada saat Fir’aun mencela Nabi Musa dan Harun, dia mengatakan :

(#þqä9$s)sù ß`ÏB÷sçRr& ÈûøïuŽ|³t6Ï9 $uZÎ=÷WÏB $yJßgãBöqs%ur $uZs9 tbr߉Î7»tã ÇÍÐÈ

“Dan mereka berkata: "Apakah (patut) kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita (juga), padahal kaum mereka (Bani Israil) adalah orang-orang yang beribadah kepada kita ?" (QS. Al Mukminun [23] : 47)

Maksud “beribadah” di atas adalah ketaatan, oleh karena itu ketaatan kepada Fir’aun disebut beribadah kepada Fir’aun. Dan begitu juga orang sekarang yang taat kepada hukum buatan para Arbab, maka disebut orang yang beribadah kepada Arbab tersebut

          Ini adalah penjelasan tentang Arbab yang mana ini adalah bagian ke dua yang harus dinafikan oleh Laa ilaaha illallaah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Materi majalah ke 7

  1. Andad (Tandingan-tandingan)

Andad adalah jamak dari kata nidd, yang artinya tandingan, maksudnya adalah tandingan bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata ia adalah: Apa saja yang mengeluarkan kamu dari dienul islam, baik itu  isteri, tempat tinggal, keluarga atau harta, maka dia adalah tandingan

Allah memerintahkan agar kita hanya menghadapkan dan menjadikan-Nya sebagai tujuan satu-satunya. Tidak boleh seseorang mengedepankan yang lain terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Allah berfirman tentang nidd ini atau tentang Andad ini :

Ÿxsù (#qè=yèøgrB ¬! #YŠ#y‰Rr& öNçFRr&ur šcqßJn=÷ès? ÇËËÈ

“…Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah sedang kamu mengetahui”. (QS Al Baqarah [2] : 22)

          Jadi sesuatu yang memalingkan kamu dari Al Islam atau Tauhid baik itu anak, isteri, suami, posisi jabatan, harta benda, dst, kalau hal tersebut justeru mamalingkan seseorang dari tauhid dan menjerumuskannya ke dalam syirik maka berarti sesuatu itu telah dijadikan Andad… tandingan bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

 

Contoh :

          Kita bisa melihat dalam realita yang ada di dalam kehidupan masyarakat… mereka berbondong-bondong menjadi abdi hukum buatan. Kita mengetahui bahwa dalam sistem yang dipakai Pemerintahan ini adalah sistem kafir, sistem syirik, yaitu sistem demokrasi. Perundang-undangannya juga adalah perundang-undangan thaghut. Undang-Undang Dasar atau undang-undang lainnya yang dibuat oleh manusia adalah kafir. Orang-orangnya…baik itu pejabat Legislatif, Eksekutif, Yudikatif, atau dari kalangan bala tentaranya seperti aparat POLRI, TNI,  atau para pejabatnya atau bahkan pegawai buruhnnya yang kecil sekalipun (PNS) mereka tidak bisa memegang posisinya, kecuali mereka menyatakan ikrar atau janji setia, kepada apa…?? Kepada Pancasila dan Undang Undang Dasar dan kepada sistem thaghut ini, sedangkan kesetiaan terhadap thaghut merupakan kekafiran !

          Kita mengetahui bahwa yang mereka inginkan bukanlah menjadi kafir atau murtad, ~umpamanya~ orang mendaftarkan diri menjadi Polisi atau jadi Caleg (Calon Legislatif) yang mana dia tidak bisa meraihnya kecuali kalau mereka setia kepada sistem thaghut tersebut, sedangkan menyatakan ikrar atau janji setia kepada sistem kafir merupakan kekafiran. Kita memahami bahwa yang diinginkan oleh orang tersebut bukanlah ingin kafir atau ingin murtad dan bukan sebagai kebencian kepada Islam… akan tetapi dia menginginkan posisi, jabatan, gaji bulanan, dst. Nah… keinginan-keinginan tersebut yang menyebabkan orang tersebut meninggalkan Tauhid, dengan demikian keinginan tersebut atau posisi jabatan atau gaji bulanan yang diinginkan tersebut telah menjadi Andad. Orang tersebut telah meninggalkan Tauhidnya karena ia menjadikan hal-hal tersebut sebagai Andad.

          Ketika seseorang mau menjadi pegawai di dinas thaghut, maka dia harus bersumpah setia kepada sistem thaghut ini terlebih dahulu. Mungkin ketika seseorang telah mengenal Tauhid dia pasti benci dengan sistem ini, atau benci dengan undang-undang ini, benci dengan falsafah yang syirik ini. Akan tetapi yang diinginkan bukan itu (bukan ingin kafir atau menjadi suka pada sistemnya, ed), melainkan gaji bulanan atau fasilitas-fasilitas. Dan dikarenakan harus setia kepada kekafiran ~sedang hal demikian itu adalah kekafiran~ maka perbuatan tersebut telah menjadikan orang tersebut terjerumus ke dalam kekafiran, orang tersebut telah menjadikan keinginan-keinginannya sebagai Andad yang memalingkannya dari Tauhid…!

Jadi Andad adalah sesuatu yang memalingkan seseorang dari Tauhid… dari Islam, baik itu berupa jabatan, harta, atau keluarga. Umpamanya, seorang  ayah yang sangat sayang kepada anaknya, sedang si anak tersebut dalam keadaan sakit, lalu ada orang yang menyarankan kepada si ayah tersebut agar si anak yang sakit itu dibawa ke dukun. Dikarenakan saking sayangnya kepada si anak tersebut akhirnya si ayah datang ke dukun dan mengikuti apa yang disarankan oleh si dukun tersebut. Maka dengan demikian si anak tersebut telah memalingkan si ayah tadi dari Tauhid, dan berarti si anak telah menjadi Andad. Sedangkan Allah berfirman :

Ÿxsù (#qè=yèøgrB ¬! #YŠ#y‰Rr& öNçFRr&ur šcqßJn=÷ès? ÇËËÈ

“…Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah sedang kamu mengetahui”. (QS Al Baqarah [2] : 22)

          Ini semua adalah tentang Andad, dan singkatnya adalah segala sesuatu yang memalingkan seseorang dari Tauhid dan Al Islam disebut Andad.

  1. Thaghut.

Thaghut adalah di ambil dari kata thaghaa atau thughyaan yang artinya melampau batas, seperti firman Allah ta’alaa:

Pergilah kamu (Musa) kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas.”(An Nazi’at:17).

Batas makhluk adalah menghambakan dirinya kepada Al Khaliq dan mengikutu hukum yang diturunkan oleh-Nya. Dan bila seseorang malah ingin diibadati atau malah memposisikan dirinya sebagai pembuat hukum yang diberlakukan kepada manusia, maka dia itu telah melampau batasnya sebagai makhluk dan malah mensetarakan dirinya dengan Al Khaliq.

Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata bahwa thaghut adalah: Makhluk yang diibadati sedangkan dia itu rela atau makhluk yang memposisikan (mencalonkan) dirinya untuk diibadati.

Beliau juga mengatakan: Thaghut itu umum mencakup segala yang diibadati sealain Allah sedangkan dia rela dengan peribadatan tersebut, baik itu yang diibadati atau yang diikuti atau yang ditaati bukan dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.(Risalah Fi Makna Ath Thaghut, Majmu’atut Tauhid:10).

           

Thaghut itu banyak, apalagi pada masa sekarang. Adapun pentolan-pentolan thaghut itu ada 5, diantaranya:

 

1.    Syaithan

          Syaitan yang mengajak ibadah kepada selain Allah. Adapun tentang makna ibadah tersebut dan macam-macamnya telah anda pahami dalam uraian sebelumnya. Syaitan ada dua macam : Syaitan Jin dan Syaitan Manusia. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :

“Dan begitulah Kami jadikan bagi tiap nabi musuhnya berupa syaitan-syaitan manusia  dan jin  (Al An’am : 112)

dan firmanNya Ta’ala :

“Yang membisikkan dalam dada-dada manusia, berupa jin dan manusia” (An Naas : 5-6)

          Orang mengajak untuk mempertahankan tradisi tumbal dan sesajen, dia adalah syaitan manusia yang mengajak ibadah kepada selain Allah. Tokoh yang mengajak minta-minta kepada orang yang sudah mati adalah syaitan manusia dan dia adalah salah satu pentolan thaghut. Orang yang mengajak pada system demokrasi adalah syaitan yang mengajak ibadah kepada selain Allah, dia berarti termasuk thaghut. Orang yang mengajak menegakkan hukum perundang-undangan buatan manusia, maka dia adalah syaitan yang mengajak beribadah kepada selain Allah.

          Orang yang mengajak kepada paham-paham syirik (seperti : sosialis, kapitalis, liberalis, dan falsafah syirik lainnya), maka dia adalah syaitan yang mengajak beribadah kepada selain Allah, sedangkan Dia Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :

“Bukankan Aku memerintahkan kalian wahai anak-anak Adam : “Janganlah ibadati syaitan, sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagi kalian” (Yaasin : 60) 

 

2.    Penguasa Yang Zhalim

          Penguasa zhalim yang merubah aturan-aturan (hukum) Allah, thaghut semacam ini adalah banyak sekali dan sudah bersifat lembaga resmi pemerintahan negara-negara pada umumnya di zaman sekarang ini, seperti para anggota parlemen dan yang lainnya yang tugasnya adalah pembuatan hukum dan perundang-undangan.

          Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Di kala seseorang menghalalkan yang haram yang telah diijmakan atau atau menghramkan apa yang halal yang sudah diijmakan atau merubah aturan yang sudah diijmakan, maka dia kafir lagi murtad dengan kesepakatan para fuqaha”  (Majmu Al Fatawa3/267)

          Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya para anggota parlemen itu adalah thaghut, tidak peduli darimana saja asal kelompok atau partainya, presiden dan para pembantunya, seperti menteri-menteri di negara yang bersistem syirik adalah thaghut, sedangkan para aparat keamanannya adalah sadanah (pembela) thaghut apapun status kepercayaan yang mereka klaim. Orang-orang yang berjanji setia pada system syirik dan hukum thaghut adalah budak-budak (penyembah/hamba) thaghut. Orang yang mengadukan perkaranya kepada pengadilan thaghut disebut orang yang berhukum kepada thaghut, sebagaimana firmanNya Ta'ala :

“Apakah engkau tidak melihat kepada orang-orang yang mengaku beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu dan apa yang dturunkan sebelum kamu, sedangkan mereka hendak berhukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk kafir terhadapnya” (An Nisa : 60)

Di sini Allah menyebut para pembuat hukum sebagai thaghut yang kita diperintahkan untuk kafir terhadapnya.

 

3.    Orang yang memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan.

          Kepala suku dan kepala adat yang memutuskan perkara dengan hukum adat adalah kafir dan termasuk thaghut. Jaksa dan Hakim yang memvonis bukan dengan hukum Allah, tetapi berdasarkan hukum/undang-undang buatan manusia, maka sesungguhnya dia itu Thaghut. penguasa  dan pejabat yang memutuskan perkara berdasarkan Undang Undang Dasar thaghut adalah thagut juga. Allah Ta’ala berfirman :

“Dan siapa saja yang tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan, maka merekalah orang-orang kafir itu” (Al Maidah : 44)

          Ibnu Katsir rahimahullah berkata : “Siapa yang meninggalkan aturan baku yang diturunkan kepada Muhammad Ibnu Abdillah penutup para nabi dan dia justru merujuk pada aturan-aturan (hukum) yang sudah dinasakh (dihapus), maka dia telah kafir. Apa gerangan dengan orang yang merujuk hukum Ilyasa (Yasiq) dan lebih mendahulukannya daripada aturan Muhammad maka dia kafir dengan ijma kaum muslimin”  (Al Bidayah : 13/119) Sedangkan Ilyasa (Yasiq) adalah hukum buatan Jengis Khan yang berisi campuran hukum dari Taurat, Injil, Al Qur’an.

           Orang yang lebih mendahulukan hukum buatan manusia dan adat daripada aturan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam maka dia itu kafir.

          Dalam ajaran Tauhid, seseorang lebih baik hilang jiwa dan hartanya daripada dia mengajukan perkaranya kepada hukum thaghut, Allah Ta’ala berfirman :

“Fitnah (syirik & kekafiran) itu lebih dahsyat dari pembunuhan” (Al Baqarah : 191  )

Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman rahimahullah berkata : “Seandainya penduduk desa dan penduduk kota perang saudara hingga semua jiwa musnah, tentu itu lebih ringan daripada mereka mengangkat thaghut di bumi ini yang memutuskan (persengketaan mereka itu) dengan selain Syari’at Allah” (Ad Durar As Saniyyah : 10 Bahasan Thaghut)

4.    Orang yang Mengaku Mengetahui Hal Yang Ghaib Selain Allah. 

          Semua yang ghaib hanya ada di Tangan Allah, Dia Ta’ala berfirman :

“Dialah Dzat yang mengetahui hal yang ghaib, Dia tidak menampakan yang ghaib itu kepada seorangpun” (Al Jin : 26)

Bila ada orang yang mengaku mengetahui hal yang ghaib, maka dia adalah thaghut, seperti dukun, paranormal, tukang ramal, tukang tenung, dsb. Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa orang yang mendatangi dukun atau tukang ramal dan dia mempercayainya, maka dia telah kafir, dan apa gerangan dengan status si dukun tersebut ??!

 

5.    Orang Yang Diibadati Selain Allah Dan Dia Ridha Dengan Peribadatan itu.

          Orang yang senang bila dikultuskan, sungguh dia adalah thaghut. Orang yang membuat aturan yang menyelisihi aturan Allah dan RasulNya adalah thaghut. Orang yang mengatakan “Saya adalah anggota badan legislatif” sama dengan ucapan : “Saya adalah Tuhan” karena orang-orang di badan legislatif itu sudah  merampas hak khusus Allah Subhanahu Wa Ta'ala, yaitu membuat hukum (undang-undang). Mereka senang bila hukum yang mereka gulirkan itu ditaati lagi dilaksanakan, maka mereka adalah thaghut. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :

“Dan barang siapa yang mengatakan di antara mereka ; “Sesungguhnya Aku adalah Tuhan selain Allah” maka Kami membalas dia dengan Jahannam, begitulah Kami membalas orang-orang yang zalim” (Al Anbiya : 29)

           

          Itulah tokoh-tokoh thaghut di dunia ini.

          Orang tidak dikatakan beriman kepada Allah sehingga dia kufur kepada thaghut, kufur kepada thaghut adalah separuh laa ilaaha ilallaah. Thaghut yang paling berbahaya pada masa sekarang adalah thaghut hukum, yaitu para penguasa yang MEMBABAT aturan Allah, mereka menindas umat ini dengan besi dan api, mereka paksakan kehendaknya, mereka membunuh, menculik, dan memenjarakan kaum muwahhidin yang menolak tunduk kepada hukum mereka. Akan tetapi banyak orang yang mengaku Islam berlomba-lomba untuk menjadi budak dan hamba mereka. Mereka juga memiliki ulama-ulama jahat yang siap mengabdikan lisan dan pena demi kepentingan ‘tuhan’ mereka.

          Semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala cepat membersihkan negeri kaum muslimin dari para thaghut dan kaki tangannya, Aamiin ya Rabbal ‘aalamiin.

 

 

 

 

PENJELASAN

ABU MUHAMMAD ‘ASHIM AL MAQDISIY

PRIHAL RINCIAN STATUS ORANG YANG  MEMBERIKAN SUARA DI DALAM PEMILU DEMOKRASI

 

 

 

 

 

 

 

DARI

AR RISAALAH ATS TSALAATSIINIYYAH

AN NUKAT AL LAWAAMI’

AL ISYRAAQAH FII SUAALAAT SAWWAQAH

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PENERJEMAH

ABU SULAIMAN AMAN ABDURRHMAN

 

Sikap Ghuluw Dalam Takfier

Ke 26

Takfier Semua Orang Yang Ikut Serta Di Dalam Nyoblos Tanpa Rincian

 

Dan termasuk kekeliruan yang menyebar di dalam takfier juga adalah sikap mengkafirkan semua orang yang memberikan suara dalam pemilihan para anggota Parlemen dan bahkan dalam pilkada dan yang lainnya tanpa pemberian rincian dan tanpa mempertimbangkan qashd (maksud tujuan) dan khatha’ (kekeliruan maksud), dan tanpa penegakkan hujjah.

Sesungguhnya banyak para para pemuda yang terlalu bersemangat, mereka mengkafirkan semua individu orang-orang yang ikut nyoblos dalam pemilihan para anggota parlemen legislative atau di dalam pilkada, tanpa memperhatikan udzur ketidaktahuan (terhadap makna dan hakikat demokrasi) yang melahirkan intifaaul qashdi (ketidakadaan maksud terhadap perbuatan atau ucapan yang mukaffir) yang dipertimbangkan di dalam masalah takfier.

Adapun pilkada: Maka kekafiran di dalamnya adalah tidak nampak jelas dan nyata di hadapan mayoritas manusia, sedangkan apa yang dikandungnya berupa pelegalan dan pemberian izin baru bagi tempat-tempat khamr dan tempat-tempat pelacuran di sebagian wilayah negeri; adalah tidak diketahui oleh mayoritas orang-orang yang ikut serta di dalam intikhaab (pemberian suara), dan banyak para calon kepala daerah yang berasal dari kalangan yang mengaku islam tidak kemitmen dengan hal tersebut, sebagaimana hal itu diketahui dari mereka oleh orang-orang yang menggeluti realita yang ada; di mana mereka tidak memberikan izin oprasi untuk hal-hal seperti itu dan mereka tidak memperbaharui izin oprasinya; di mana hal semacam ini adalah yang menjadikan banyak masyarakat terpedaya oleh mereka dan ikut serta di dalam memilih mereka. Sehingga menyamakan orang-orang yang ikut serta di dalam pemilihan mereka ini dengan orang-orang yang ikut serta di dalam pemilihan para anggota parlemen legislative adalah sikap yang dhalim dan aniaya.

Dan adapun parlemen; maka orang yang melihat dengan mata yang obyektif terhadap masyarakat pemilih; maka dia melihat bahwa perbuatan ini adalah termasuk hal-hal yang  tersamar maksud tujuan di dalamnya pada banyak orang-orang awam yang tidak mengetahui dari parlemen-parlemen ini kecuali pelayanan-pelayanan sosial yang akan sampai ke tangan mereka lewat para  anggota legislative itu. Di mana engkau melihat banyak dari mereka berinteraksi dengan parlemen itu seolah ia adalah lembaga-lembaga untuk pelayanan sosial atau mereka itu adalah wakil-wakil untuk pemberian pelayanan. Sering sekali kita melihat di antara mereka orang yang ditandu atau dibawa di atas korsi roda; seperti wanita tua atau kakek-kakek lanjut usia atau yang lainnya yang terputus dari dunia realita dan mereka tidak mengetahui sedikitpun (hakikat) tentang parlemen itu. Dan ada di antara mereka yang diantar ke TPS untuk memilih putera-putera daerahnya agar ikut andil di dalam perbaikan, pembenahan dan memajukan daerahnya, atau untuk menghilangkan  kezaliman dari mereka atau meringankannya, atau untuk berupaya membebaskan sebagian putera-putera mereka yang sedang dipenjara, dan hal serupa itu yang bisa disaksikan lagi diketahui oleh orang yang mengetahui realita yang ada.

Dan di antara mereka ada yang didatangkan, kemudian dia melihat pamplet-pamplet yang menarik yang ditulis dengan tulisan yang besar “Islam Adalah Solusinya” serta selogan-selogan lainnya yang dengannya para caleg yang musyrik itu memperdaya kaum muslimin yang awam, sehingga mereka memilihnya sebagai kecintaan kepada Islam dan sebagai bentuk kesetiaan kepada syari’atnya, sedangkan mereka itu tidak mengetahui atau tidak memaksudkan kepada cara yang syirik lagi tertutup yang akan dilalui oleh para anggota dewan itu untuk memberlakukan sebagian huduud syar’iyyah –menurut klaim mereka-. Maka semua ini wajib dipertimbangkan dalam menyikapi orang-orang yang tidak terjun langsung di dalam pembuatan hukum, atau tidak ikut di dalam sumpah setia kepada undang-undang yang kafir, atau tidak berhakim kepadanya atau ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan kekafiran lainnya yang dilakukan langsung oleh para anggota legislative itu. Sedangkan sudah maklum bahwa orang yang sekedar ikut memilih itu tidak melakukan hal itu semuanya dan tidak terjun langsung ke dalamnya,[1] namun ia hanya sekedar memilih orang yang dia pilih sebagai wakilnya.

Bila si pemilih itu memaksudkan dengan pencoblosannya itu untuk memilih orang-orang yang akan melakukan perbuatan-perbuatan mukaffirat yang nyata  ini, maka status dia itu sama dengan status orang yang dia pilih, karena status hukum orang yang menopang di belakang adalah sama dengan status hukum orang yang terjun langsung, sehingga selama dia itu adalah penopang di belakang baginya di dalam tujuan tersebut, maka status dia adalah sama dengan status wakilnya.

Namun bila banyak pengkaburan seputar suatu urusan yang tidak dikenal dan tidak jelas bagi setiap orang –yaitu hakikat tugas para anggota dewan dan mukaffirat (hal-hal yang mengkafirkan)  yang akan mereka lakukan secara langsung), dan si orang itu termasuk orang yang bisa saja samar atas dia hal tersebut dan tidak mengetahuinya, terus dia memilih wakilnya itu seraya memaksudkan (sesuai pengetahuannya) agar si wakil rakyat itu menunaikan baginya atau bagi marganya atau bagi daerahnya pelayanan sosial, di mana dia itu (karena tidak mengetahui hakikatnya) tidak memaksudkan untuk mengangkat wakil yang akan melakukan perbuatan mukaffirat tersebut, maka dia itu adalah orang yang salah maksud lagi tidak menyengaja kepada perbuatan-perbuatan mukaffirat yang akan dilakukan oleh para anggota legislative itu saat dia memilih mereka.

Oleh sebab itu tidak halal bertindak cepat-cepat mengkafirkan orang-orang semacam dia itu sebelum penegakkan hujjah dan pemberian penjelasan kepadanya tentang hakikat  pekerjaan para anggota legislative itu dan apa yang mereka lakukan berupa kekafiran-kekafiran yang membatalkan keislaman dan ketauhidan. Kemudian bila dia bersikukuh untuk memilih mereka setelah itu maka dia dikafirkan.

Jadi harus memberikan rincian prihal status orang-orang yang ikut mencoblos di dalam pemilu ini, antara orang yang memaksudkan memilih orang yang akan membuat hukum, dengan orang yang ( karena ketidaktahuannya terhadap hakikat pemilu dan demokrasi) tidak memaksudkan hal itu, namun dia justeru memaksudkan untuk memilih hal lain di luar orang yang membuat hukum. Sehingga orang macam kedua ini tidaklah dikafirkan kecuali setelah ditegakkan hujjah terhadapnya, karena sesungguhnya dia itu walaupun secara dhahir melakukan perbuatan yang mukaffir menurut orang yang tidak mengetahui maksud tujuannya, akan tetapi kesamaran dan keterkaburan makna serta keberadaan bahwa demokrasi dan parlemen itu adalah hal baru dan kalimat asing yang hakikat maknanya tersamar atas banyak masyarakat; maka hal itu menjadikan sebagian manusia maju melakukan suatu perbuatan yang tidak dia ketahui makna yang sebenarnya. Dan dia itu termasuk macam orang yang melontarkan suatu kata atau mengucapkan suatu ucapan yang tidak diketahui maknanya. Dan dalam hal ini para ulama menyatakan bahwa orang semacam ini tidaklah diberikan sangsi dengan sebab hal itu sampai dia diberitahu tentang maknanya serta ditegakkan hujjah terhadapnya. Di dalam Kitab Qawaa’idul Ahkaam Fii Mashaalihil Anaam 2/102 ada (Pasal: Orang yang melontarkan suatu kata yang tidak dia ketahui maknanya adalah tidak dikenakan sangsi dengan sebabnya) Al ‘Izz Ibnu Abdissalam rahimahullah berkata:( Bila orang ‘ajam mengucapkan kalimat kekafiran atau iman atau thalaq atau pemerdekaan budak atau penjualan atau pembelian atau perdamaian atau pembebasan tanggungan, maka dia itu tidak dikenakan sangsi hukum apapun dari hal-hal itu, karena dia itu tidak mengkomitmeni konsekuensinya serta tidak memaksudkan kepadanya. Dan begitu juga bila seorang arab mengucapkan hal-hal yang menunjukan terhadap makna-makna ini dengan bahasa ‘ajam yang tidak dia ketahui maknanya, maka dia itu tidak dikenakan sangsi hukum apapun dari hal-hal itu, karena dia itu tidak menginginkannya, sedangkan keinginan itu tidaklah tertuju kecuali kepada suatu yang  diketahui atau diduga. Dan bila  si orang arab itu memaksudkan (kepada hal itu) dengan pelontaran ucapan-ucapan tersebut sedangkan dia itu mengetahui maknanya, maka konsekuensi hal itu berlaku darinya (sah). Namun bila dia tidak mengetahui makna-maknanya, umpamanya si orang arab itu mengatakan kepada isterinya: Kamu ini terthalaq sesuai sunnah atau bid’ah” sedangkan dia itu tidak mengetahui makna kedua kata tersebut, atau dia mengucapakan kata khulu’ atau yang lainnya atau rujuk atau nikah atau pemerdekaan budak, sedangkan dia itu tidak mengetahui maknanya padahal dia itu orang arab, maka sesungguhnya dia itu tidak dikenakan sangsi hukum apapun dari hal-hal itu, karena dia tidak memiliki pengetahuan rasa terhadap makna yang dikandung oleh kata-kata itu sehingga dia bisa memaksudkan kepada kata yang menunjukan terhadapnya). Selesai

Saya berkata: Hal ini di zaman kita adalah seperti orang yang tidak mengetahui makna dan muatan demokrasi, terus dia memujinya seraya menduga – seperti yang diketahui banyak orang awam- bahwa ia itu adalah hanyalah lawan dari penindasan, otoriter dan perampasan kemerdekaan dan hak serta hal lainnya, sehingga orang semacam itu tidak boleh dikafirkan sampai diberitahu bahwa demokrasi itu adalah hukum rakyat untuk rakyat atau kekuasaan rakyat bukan kekuasaan Allah saja. Dan selagi hal itu belum diberitahukan kepadanya, maka dia itu tidak memiliki perasaan terhadap kandungan kekafiran yang ada di dalamnya sehingga dia bisa memaksudkan kepadanya.

Ucapan yang serupa dengan ucapan Al ‘Izz adalah ucapan Ibnul Qayyim di dalam I’lamul Muwaqq’iin 4/229: (Seandainya seorang wanita berkata kepada suaminya yang tidak paham bahasa arab dan tidak memahaminya: Katakan kepada saya “Anti Thaliqun tsalatsan”[2]! Sedangkan si suami tidak mengetahui muatan ucapan ini, sehingga kemudian mengucapkannya kepada isterinya itu, maka si wanita itu tidak jatuh sama sekali thalaq kepadanya di dalam hukum Allah ta’alaa dan Rasul-Nya. Dan begitu juga seandainya seorang laki-laki berkata kepada seseorang ” Saya adalah budakmu dan hamba sahayamu” dalam rangka ketundukan kepadanya sebagaiamana yang sering diucapkan oleh banyak orang, maka tidak halal dia dianggap budaknya dengan sebab ucapannya itu. Sedangkan orang yang tidak mempertimbangkan maksud dan niat serta kebiasaan di dalam pembicaraan, maka sikap itu mengharuskan dia untuk membolehkan menjual orang yang berbicara tadi dan memperbudaknya dengan sekedar ucapannya ini. Dan ini adalah pintu yang besar yang terjatuh di dalamnya mufti yang jahil, sehingga dia menipu manusia, dia berdusta atas Nama Allah dan Rasul-Nya, dia merubah agama-Nya, mengharamkan apa yang tidak Allah haramkan serta mewajibkan apa yang tidak Allah wajibkan. Wallaahul musta’aan). Selesai.

Dan berkata juga di dalamnya (3/117): (Sesungguhnya Allah ta’alaa telah meletakkan kata-kata di antara hamba-hamba-Nya sebagai pengenal dan penunjuk terhadap apa yang ada di dalam diri mereka, di mana bila seseorang menginginkan sesuatu dari orang lain, maka dia memperkenalkan keinginannya dan apa yang ada di dalam dirinya kepada orang itu dengan ucapannya, dan Allah membangun hukum-hukumnya di atas tujuan-tujuan dan keinginan-keinginan tersebut dengan lewat perantaraan kata-kata itu. Dan Allah tidak menetapkan hukum-hukum itu di atas sekedar apa yang ada di dalam jiwa tanpa dilalah perbuatan atau ucapan, dan tidak juga di atas sekedar kata-kata saat si pembicara tersebut tidak memaksudkan dengannya kepada maknanya dan dia itu tidak mengetahui maknanya tersebut, justeru Allah mengampuni dari umat ini apa yang dibisikan oleh jiwa-jiwanya selagi tidak melakukannya atau mengucapkannya, dan Dia pun mengampuni bagi umat ini apa yang dikatakannya seraya mereka keliru (salah lidah) atau lupa atau dipaksa atau tidak mengetahui maknanya, bila tidak meniatkan kepada makna ucapan yang dikatakan  atau (tidak) memaksudkan kepadanya. Dan bila terkumpul maksud (qashd) dengan dilalah ucapan atau perbuatan, maka hukumpun terbangun di atasnya, ini adalah kaidah di dalam syari’at ini, dan ia itu termasuk tuntutan keadilan Allah, hikmah-Nya dan rahmat-Nya). Selesai.

Guru beliau yaitu Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: (Sesungguhnya orang muslim bila memaksudkan makna yang shahih di dalam hak Allah ta’alaa dan Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam, sedang dia itu tidak mengetahui dilalah (indikasi/apa yang ditunjukan) kata-kata, terus dia melontarkan suatu kata yang dia kira menunjukan terhadap makna (yang shahih) itu, padahal ia itu menunjukan terhadap makna yang lain, maka sesungguhnya dia itu tidak kafir).

Dan beliau berkata:( Allah ta’alaa telah berfirman”Janganlah kamu katakan (kepada Muhammad):Raa’inaa.”  Dan ungkapan ini adalah tergolong ucapan yang mana orang-orang Yahudi memaksudkan menyakiti Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam dengannya, sedangkan kaum muslimin tidak memaksudkan hal itu, maka Allah ta’alaa melarang mereka dari (melontarkan)nya, dan Allah tidak mengkafirkan mereka dengan sebabnya). Selesai. (Kitab Ar Raddu ‘Alaal Bakriy hal:341-342).

Dan akan datang di dalam Ash Sharimul Maslul hal 180 di bahasan ke 29 dari kitab ini pemilahan beliau juga antara orang yang berbicara negative tentang Aisyah radliyallaahu 'anha dalam tragedi Al Ifki (berita bohong) seraya memaksudkan menyakiti Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, menghujatnya, mengotori kehormatannya serta menjatuhkan harga dirinya, dengan orang yang lainnya yang tidak memaksudkan kepada hal itu dengan ucapannya itu; seperti Hissan, Misthah dan Himnah. Beliau berkata: ( Maka sesungguhnya mereka itu tidak memaksudkan kepada hal itu dan tidak mengatakan ucapan yang menunjukan terhadap hal itu). Selesai.

Dan di dalam ucapannya terdapat isyarat bahwa tabayyun (pencarian kejelasan) tentang hakikat maksud tujuan itu bisa diketahui dari dilalah ucapan itu sendiri.

Dan kesimpulan dari penjelasan itu semuanya adalah; Bahwa meskipun sebab-sebab takfier di dunia ini – sebagaimana yang telah lalu- adalah terbatas pada ucapan dan perbuatan yang mukaffir, akan tetapi saat keterkaburan keadaan, berbaurnya berbagai makna dan berbilangnya berbagai kemungkinan dengan sebab keberadaan kondisi ketidaktahuan terhadap hakikat kata-kata dan perbuatan-perbuatan (tertentu), maka harus dilakukan pencarian kejelasan tentang qashd (maksud tujuan) dan pencarian kejelasan maksud dan keinginannya terhadap sebab kekafiran, tidak terhadap sesuatu yang lain.

Dan ia adalah apa yang telah kami ketengahkan kepada anda sebelumnya bahwa kami tidak memaksudkan dengan intifaaul qashdi (ketidakadaan maksud) itu apa yang disyaratkan oleh orang-orang Murjiah dan Jahmiyyah yaitu berupa keyakinan dan istihlal termasuk di dalam amalan-amalan dan ucapan-ucapan yang mukaffirah!! Atau bahwa orang tidak menjadi kafir kecuali kalau dia bermaksud untuk menjadi orang kafir, yaitu dia itu memiliki keinginan untuk keluar dari dien ini…maka hal ini adalah sangat jarang sekali orang yang memaksudkannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam: (Dan secara umum, barangsiapa mengucapkan atau melakukan sesuatu yang merupakan kekafiran, maka dia itu menjadi kafir dengan sebab hal itu, walaupun dia tidak bermaksud untuk menjadi kafir, karena tidak bermaksud untuk menjadi kafir seorangpun kecuali apa yang Allah kehendaki). (Ash Sharimul Maslul (177-178).

Yang kami maksudkan sebagaimana yang telah kami jelaskan berkali-kali adalah memaksudkan amalan yang mukaffir itu sendiri, yaitu sebab kekafiran, baik dia itu berniat untuk keluar dari dien maupun tidak. Karena Allah saat mengkaitkan hukum-hukum syar’iy –yang di antaranya adalah takfier- terhadap sebab-sebabnya, maka Dia tidak menjadikan bagi orang mukallaf kewenangan memilih di dalam membedakan di antara hal-hal itu, akan tetapi kapan saja sebab itu didapatkan dan syarat-syaratnya terpenuhi serta mawani’nya tidak ada, maka hukumpun terbukti ada, walaupun si orang mukallaf itu tidak bermaksud mendatangkan hukum tersebut. Di mana yang dianggap itu adalah maksud mendatangkan ucapan atau perbuatan yang mukaffir, bukan bermaksud untuk kafir.

Dan kami ingatkan di sini, bahwa kami tidak mengudzur para pemilih dengan sebab kejahilan mereka (terhadap hukum) bila mereka memaksudkan dan memilih amalan mukaffir itu sendiri (yaitu pembuatan hukum secara muthlaq sesuai ketentuan UUD, atau sumpah untuk menghormati UUD dan UU) serta kekafiran-kekafiran nyata lainnya, karena ini adalah termasuk hal yang mana orang yang jahil tidak diudzur dengan sebabnya, sebab ia adalah termasuk kemusyrikan yang nyata lagi jelas yang menggugurkan inti tauhid yang dibawa oleh semua rasul, di mana orang yang jahil terhadapnya adalah karena keberpalingan dari mempelajari inti ajaran agama terpenting yang tidak boleh jahil terhadapnya, padahal mempelajarinya sangat mudah dan tidak susah. Sebagaimana tidak ada seorangpun yang berakal tidak mengetahui bahwa pembuatan hukum itu adalah termasuk hak khusus Allah yang wajib disandarkan hanya kepada-Nya, terutama bila kewenangan pembuatan hukum itu adalah secara muthlaq yang tidak mengecualikan sedikitpun dari urusan-urusan dien atau dunia, sebagaimana realita yang ada di mana para thaghut telah menjadikan kewenangan pembuatan hukum itu sebagai hak mereka dan hak para anggota parlemen.

Padahal para ulama telah menegaskan bahwa barangsiapa mengklaim bahwa dirinya itu memiliki hak penghalalan, pengharaman dan pembuatan hukum, maka dia itu telah mengaku sebagai tuhan (rabb), dan bahwa barangsiapa mentaati para ulama dan para umara atau para raja atau yang lainnya di dalam pengharaman apa yang telah Allah halalkan atau di dalam penghalalan apa yang telah Allah haramkan atau di dalam pembuatan hukum yang tidak Allah izinkan, maka dia itu telah menjadikan mereka itu sebagai arbaab (tuhan-tuhan) selain Allah, karena ketaatan di dalam penyandaran kewenangan pembuatan hukum adalah ibadah, sedangkan penyekutuan Allah di dalam hukum-Nya adalah sama seperti penyekutuan-Nya di dalam ibadah-Nya. Dan para ulama itu berdalil terhadap hal itu dengan banyak dalil, di antaranya firman Allah ta’alaa:

Ÿwur (#qè=à2ù's? $£JÏB óOs9 ̍x.õ‹ãƒ ÞOó™$# «!$# Ïmø‹n=tã ¼çm¯RÎ)ur ×,ó¡Ïÿs9 3 ¨bÎ)ur šúüÏÜ»u‹¤±9$# tbqãmqã‹s9 #’n<Î) óOÎgͬ!$u‹Ï9÷rr& öNä.qä9ω»yfã‹Ï9 ( ÷bÎ)ur öNèdqßJçG÷èsÛr& öNä3¯RÎ) tbqä.Ύô³çRmQ ÇÊËÊÈ

“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (QS. Al An’am [6] : 121)

Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al Hakim serta Ibnu Jarir di dalam Tafsirnya telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa kaum musyrikin mendebat kaum muslimin prihal bangkai, mereka mengatakan: Apa yang disembelih Allah, kalian tidak mau memakannya, sedangkan apa yang kalian sembelih, maka kalian memakannya?? Maka Allah ta’alaa menurunkan ayat tersebut sampai firman-Nya:” dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik” maka ini adalah vonis dari Allah ta’alaa bahwa setiap orang yang mentaati orang-orang kafir di dalam penghalalan apa yang telah Allah haramkan atau di dalam pengharaman apa yang telah Allah haramkan atau di dalam pembuatan hukum yang tidak Allah izinkan, maka dia itu adalah musyrik terhadap Allah. Dan ia itu seperti firman-Nya prihal ahli kitab:

(#ÿrä‹sƒªB$# öNèdu‘$t6ômr& öNßguZ»t6÷dâ‘ur $/$t/ö‘r& `ÏiB Âcrߊ «!$# yx‹Å¡yJø9$#ur šÆö/$# zNtƒötB !$tBur (#ÿrãÏBé& žwÎ) (#ÿr߉ç6÷èu‹Ï9 $Yg»s9Î) #Y‰Ïmºur ( Hw tm»s9Î) žwÎ) uqèd 4 ¼çmoY»ysö7ߙ $£Jt㠚cqà2̍ô±ç„ ÇÌÊÈ  

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah [9] : 31).

Di mana At Tirmidzi dan yang lainnya telah meriwayatkan, dan haditsnya adalah hasan dengan berbagai jalan-jalannya, dari ‘Adi Ibnu Hatim, bahwa ia berkata:( Wahai Rasulullah Kami (maksudnya : dia dan orang-orang Nashrani) tidak pernah beribadah kepada mereka? Maka Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam berkata : “Bukankah alim ulama dan pendeta kalian itu menghalalkan apa yang telah Allah haramkan lalu kalian ikut-ikutan menghalalkannya ? bukankan mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan kemudian kalian juga mengharamkannya ?”, lalu ‘Adiy berkata : “Ya !”, maka Rasul berkata : “Itulah bentuk peribadatan (orang Nashrani) terhadap mereka”). Dan hadits ini dinilai hasan oleh Syaikhul Islam di dalam Al Fatawa 7/47.

Di dalam hadits ini terdapat penjelasan bahwa mereka itu tidak mengetahui bahwa ketaatan di dalam tahlil dan tahrim itu adalah ibadah, namun demikian mereka itu tidak diudzur dengan sebab kejahilan (terhadap hukum) ini. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Hudazifah radliyallaahu 'anhu bahwa beliau berkata: (Sesungguhnya mereka itu tidaklah shaum untuk mereka dan tidak pula shalat untuk mereka, namun mereka itu bila orang alim dan para pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, maka mereka menganggapnya halal, dan bila mengharamkan atas mereka sesuatu yang telah Allah halalkan, maka merekapun mengaramkannya, maka itulah pentuhanan terhadap mereka).

Bisa saja ada yang mengatakan bahwa pembuatan hukum di dalam bab-bab huduud dan sangsi-sangsi hukum itu tidaklah sejelas dan seterang penghalalan dan pengharaman di dalam penentangannya terhadap syari’at dan penggugurannya terhadap tauhid. Sedangkan pembuatan hukum pada zaman sekarang ini hanyalah berkaitan dengan huduud dan sangsi-sangsi, dan biasanya tidak menyinggung masalah penghalalan dan pengharaman, sehingga tidaklah tepat berdalil dengan dalil-dalil tadi terhadap sikap tidak diudzurnya orang-orang yang mengikuti para pembuat hukum itu, karena dalil-dalil tadi adalah berkaitan dengan ketaatan di dalam penghalalan apa yang sudah diketahui pasti pengharamannya, seperti bangkai, khamr, zina dan riba, sehingga wajib mempertimbangkan kejahilan mereka di dalam macam hukum yang mereka ikuti serta tidak mengkafirkan mereka kecuali setelah penegakkan hujjah.

Tapi pernyataan ini  terbantahkan dengan realita bahwa kewenangan pembuatan hukum yang diberikan kepada para anggota parlemen dan thaghut mereka itu adalah kewenangan yang muthlaq lagi tidak terbatas sebagaimana yang dinyatakan oleh UUD.[3]Sehingga masuk di dalamnya tahlil dan tahrim serta yang lainnya, sedangkan sekedar menerima kewenangan muthlaq semacam ini dan menganggapnya sebagai bagian dari kewenangan dan hak para anggota parlemen adalah cukup untuk mengkafirkannya dan untuk mengkafirkan orang yang memilihnya, baik dia itu terjun langsung menghalalkan dan mengharamkan ataupun tidak, dan baik dia itu membuat hukum di dalam bidang sangsi dan huduud ataupun tidak, serta baik dia itu bersumpah untuk menghormati UUD kafir yang melindungi hak syirik ini dan pasal-pasal kekafiran lainnya ataupun tidak bersumpah. Di mana kewenangan muthlaq pembuatan hukum adalah termasuk hak khusus Allah yang hanya boleh disandarkan kepada-Nya ‘azza wa jalla, dan barangsiapa menyandarkan kewenangan tersebut kepada dirinya atau kepada selain Allah, maka dia itu telah mencari selain Allah sebagai ilaah, rabb dan pemutus hukum, serta dia itu telah mencari selain islam sebagai dien.

Dan juga siapa yang mampu mengklaim bahwa pembuatan hukum yang dengan sebabnya Allah mengkafirkan para pembuat hukum dari kalangan ahli kitab beserta orang-orang yang mengikuti mereka di atasnya itu, semuanya adalah hanya sebatas tahlil dan tahrim..?? yaitu meyakini hal itu sebagaimana syarat takfier yang dilontarkan oleh kalangan penerus paham Jahmiyyah dan Murjiah..!!

Justeru telah terbukti bahwa pembuatan hukum yang mereka lakukan itu, mayoritasnya adalah di dalam bab-bab huduud, sangsi-sangsi dan hak-hak yang bersifat tauqifi (sesuai dalil syar’iy), seperti diyat, sebagaimana di dalam salah satu riwayat sebab turun firman Allah ta’alaa:

`tBur óO©9 Oä3øts† !$yJÎ/ tAt“Rr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$#

“Barangsiapa yang tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang kafir”.(Al Maidah:44)

Yaitu dari Ibnu Abbas radliyallaahu 'anhu bahwa ia turun prihal dua kelompok dari kaum Yahudi, yaitu Bani Nadlir dan Bani Quraidhah, di mana orang-orang yang terbunuh dari suku Bani Nadlir adalah memiliki kemuliaan lebih, sehingga mereka mendapat diyat secara sempurna, sedangkan Banu Quraidhah itu adalah kasta yang rendah, sehingga mendapatkan hanya separoh diyat. Terus mereka berhakim kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam, maka beliaupun menjadikan diyat di antara mereka sama saja. Dan hal ini diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad, dan atsar ini ada di dalam Tafsir Ibnu Jarir juga.

Dan telah lalu sebab nuzul yang lain di dalam hadits Al Bara Ibnu ‘Azib dalam Shahih Muslim tentang pengrajaman yang dilakukan Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam terhadap orang yahudi yang berzina. Dan di dalam hadits ini bisa diketahui bahwa kejahatan mereka yang dengan sebabnya ayat-ayat tadi diturunkan adalah sikap mereka mengikuti para pendahulu mereka terhadap had (hukuman) pengganti (syari’at) bagi pezina  yang telah mereka tetapkan. Dan di dalam hadits ini tidak ada pernyataan bahwa mereka itu menghalalkan zina bagi mereka atau mereka menganggapnya halal, di mana seandainya mereka itu menghalalkan zina tentulah mereka tidak membuatkan baginya sangsi apapun, di mana hal yang mubah atau halal adalah tidak ada sangsi terhadap seorangpun karenanya.

Dan juga sesungguhnya huduud syariat islam itu, karena banyaknya hinaan terhadapnya dan sebutan kejam yang dilontarkan orang-orang kafir dan orang-orang murtad terhadapnya, adalah telah menjadi pada zaman kita ini sebagai hal yang tidak samar lagi terhadap orang kafir sekalipun, apalagi bagi kalangan yang mengaku islam.

Semua orang pada hari ini mengetahui, bahwa para thaghut telah membekukan huduud yang suci itu, menggugurkannya dan menggantinya dengan sangsi-sangsi yang ada di dalam undang-undang buatan yang diimpor dari negara-negara kafir.

Sedangkan sudah maklum bahwa pembuatan sangsi-sangsi hukum pengganti dari huduud ini dan perancangannya atau penggulirannya atau penggantiannya, adalah tugas kekuasaan legislative yang berada di tangan para anggota parlemen dan thaghut mereka.

Di samping hal itu, sesungguhnya orang yang mengamati undang-undang buatan yang ada, dia akan melihat bahwa tahlil dan tahrim itu ada juga di dalamnya di dalam berbagai pintu persoalan. Contohnya riba yang pengharamannya sudah maklum di dalam ajaran kaum muslimin, adalah mubah di dalam undang-undang para budak hukum (thaghut), dan ia itu memiliki lembaga-lembaganya yang mendapatkan izin oprasi lagi dilindungi undang-undang serta dijaga oleh aparat-aparatnya.

Begitu juga khamr adalah mubah dan ia memiliki pabrik pembuatannya dan tempat penyajiannya yang diberikan izin untuk menjual dan meminum di dalamnya, dia terjaga dan orang-orangnya melindungi diri dengan undang-undang dan kekuatan aparat hukumnya. Dan begitu juga pelacuran yang dilegalkan dan dilindungi undang-undang.

Dan sebelum itu semuanya adalah kemurtaddan dan kekafiran dengan segala bentuknya, adalah mubah, legal lagi dilindungi undang-undang dengan nama kebebasan keyakinan. Dan di dalam undang-undang mereka, dari awal sampai akhir tidak ada pasal yang mengharamkan kemurtaddan atau kekafiran atau pasal yang menyatakan bahwa itu adalah tindak pidana. Di mana kemurtaddan di dalam ajaran mereka bukanlah kejahatan yang dikenakan sangsi pidana, namun ia adalah kebebasan individu yang dijaga, dilindungi dan dijamin oleh undang-undang kafir.

Pembicaraan di dalam masalah ini adalah sangat panjang dan telah kami jelaskan secara terperinci di tempat lain di dalam tulisan-tulisan kami yang telah kami isyaratkan sebelumnya.

Kesimpulannya: Bahwa kami tidak mengudzur orang yang menyengaja untuk memilih para pembuat hukum, atau orang yang mengikuti mereka dan bersepakat bersama mereka terhadap hukum buatan mereka, karena kalau kita mengudzur mereka tentu kita harus mengudzur orang-orang yahudi dan orang-orang nasrani dalam perbuatan mereka mengibadati para alim ulama dan para pendeta. Karena di dalam syari’at ini tidak dikenal yang namanya membedakan di antara dua hal yang sama lagi serupa ((Apakah orang-orang kafir kalian lebih baik daripada mereka, atau apakah kalian telah mempunyai jaminan kebebasan (dari azab) di dalam kitab-kitab yang terdahulu))[4]

Namun hal yang dengannya itu kami mengudzur kaum muslimin yang awam (di sini) adalah ketidakadaan maksud (intifaaul qashd) bila ia itu ada, yaitu khathaa (kekeliruan) yang merupakan kebalikan dari sikap menyengaja, pada orang yang yang tidak memilih caleg itu atas dasar bahwa ia itu adalah orang yang akan membuat hukum, atau akan bersumpah untuk menghormati UUD, atau orang yang akan bertahakum kepada undang-undang, atau orang yang tugasnya itu berlandaskan kepada undang-undang atau berlandaskan aturan-aturannya, atau kekafiran-kekafiran lainnya yang dilakukan oleh para anggota parlemen, sedangkan orang yang memilih itu tidak mengetahui hal-hal itu dan tidak memiliki pengetahuan terhadapnya sehingga maksud, tujuan dan niatnya itu mengarah kepadanya, namun dia memilih orang yang dia pilih dari mereka supaya mereka itu menegakkan syari’at Allah sebagaimana yang sering didengung-dengungkan oleh kalangan yang mengaku aktivis islam di dalam kampanye-kampanye mereka, tanpa dia (si pemilih) mengetahui atau nampak di hadapannya cara-cara kafir yang dengannya mereka mimpi untuk menegakkan islam lewat jalannya, atau dia memilih mereka demi pelayanan-pelayanan yang dia harapkan dari mereka tanpa dia mengetahui hakikat pekerjaan dan tugas mereka sebenarnya.

Maka orang-orang semacam mereka itu tidaklah dikafirkan kecuali setelah diberitahu dan diberi penjelasan serta penegakkan hujjah, terutama beserta adanya apa yang telah kami utarakan berupa keterkaburan keadaan, kejahilan orang-orang awam (terhadap hakikat sebenarnya) serta tersembunyinya talbis (pengkaburan) yang dilakukan orang-orang yang mengaku islam terhadap mereka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: ( Namun demikian bisa saja ahlul ahwa ini[5] banyak menyebar di sebagian tempat dan zaman sampai ucapan mereka itu menyerupai –menurut orang-orang jahil- ucapan ahlul ilmi dan sunnah, sampai-sampai persoalan itu tersamar di hadapan orang yang menangani urusan mereka itu, sehingga pada kondisi seperti itu butuh kepada orang yang menampakkan hujjah Allah dan menjelaskannya). Selesai dari Majmu Al Fatawa terbitan Dar Ibni Hazm 3/152.

Sedangkan penegakkan hujjah itu bukan hanya menyampaikan firman Allah dan sabda Rasulullah, terutama setelah tersebarnya islam dan sampainya Kitabullah kepada orang yang jauh dan orang yang dekat beserta jaminan Allah untuk menjaganya, akan tetapi penegakkan hujjah itu pada banyak kondisi adalah dengan dengan cara pelenyapan syubuhat dan pembongkaran talbis serta penampakkan hakikat waqi’ (realita) atau makna ucapan dan hakikat perbuatan.

Dan telah lalu penuturan dalil-dalil terhadap sikap mempertimbangkan udzur intifaaul qashd (ketidakadaan maksud) yang muncul dari ketidakpahaman terhadap makna ucapan dan ketidaktahuan terhadap kandungannya atau (ketidakadaan maksud)yang muncul dari rasa kaget dan ketercengangan karena kebahagiaan dan rasa rasa takut yang sangat meliputi diri atau karena kejahilan (terhadap makna), dan hal serupa itu yang membuahkan perbuatan atau ucapan yang mana orang mukallaf tidak memaksudkan kepada hakikat sebenarnya dan maknanya, karena pada kondisi itu dia tidak memiliki pengetahuan terhadap maknanya dan hakikatnya sehingga dia bisa memaksudkannya.

Dan telah kami sebutkan hadits tentang orang yang kehilangan unta tunggangannya di tengah padang pasir, padahal di atasnya ada makanannya, minumannya dan barang-barangnya, kemudian tatkala dia sudah merasa yakin akan binasa, maka dia tidur di bawah pohon sambil menunggu kematian. Kemudian tatkala dia terbangun tiba-tiba dia mendapatkan untanya itu ada di dekat kepalanya, maka dia memegang tali kendalinya seraya mengatakan “Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah tuhan-Mu” dia salah ucapan karena saking bahagianya, sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam.

Sebagaimana yang telah lalu juga hadits prihal laki-laki yang mewasiatkan kepada keluarganya agar membakar dirinya bila dia sudah mati dan menaburkan abunya, karena saking takutnya kepada Allah di saat menjelang kematiannya karena dia banyak berbuat dosa, di mana dia tidak mengamalkan sedikitpun kebaikan kecuali tauhid. Di dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang kejahilan dia dan kelalaiannya terhadap keluasan cakupan qudrah Allah ta’alaa dan bahwa Dia Kuasa untuk membangkitkannya walaupun anggota-anggota tubuhnya sudah berceceran di mana-mana. Dan akan datang tambahan pembicaraan tentang hal ini.

Dan atas dasar ini maka pernyataan pengkafiran seluruh orang yang ikut memilih di dalam pemilu perlemen tanpa rincian adalah kesalahan yang nyata yang tergolong kekeliruan di dalam takfier yang wajib diperhatikan, terutama beserta adanya ketidaktahuan terhadap hakikat parlemen-parlemen ini dan hakikat tugas wakil rakyat di dalamnya, serta terkaburnya permasalahan dan maksud tujuan.

Namun demikian kami tidak segan dari mengatakan – berdasarkan realita pengetahuan kami terhadap hakikat parlemen-parlemen syirik ini dan tabi’at prosedur yang dengan caranya anggota parlemen itu melaksanakan tugas pembuatan hukum dan tugas lainnya[6] – bahwa ikut serta di dalam pemilihan para anggota parlemen legislative ini adalah kekafiran yang nyata, dan ini adalah hukum yang bersifat muthlaq atas perbuatan tersebut, kami lontarkan ucapan semacam itu di dalam pentahdziran kami dari parlemen-parlemen ini, sebagai wa’id (ancaman) dan tarhib (sikap menakut-nakuti) untuk mengajak manusia agar menjauhinya, akan tetapi di dalam menerapkan vonis kafir terhadap individu-individu pelakunya (orang mu’ayyan) kami tidak mengkafirkan seluruh individu orang yang ikut serta memilih mereka,[7] namun kami memberikan rincian sesuai pilihan dan maksud masing-masing dari mereka.

Barangsiapa memilih wakil rakyat dalam rangka pembuatan hukum atau amalan-amalan kekafiran lainnya; maka dia itu telah kafir karena dia telah mendatangkan suatu sebab kekafiran, walaupun dia itu tidak bermaksud untuk kafir dan keluar dari dienul islam dengan sebab perbuatan ini.

Adapun orang yang tidak mengetahui hakikat majelis ini dan tabi’at pekerjaan para anggotanya, maka orang ini wajib ditegakkan hujjah terhadapnya dan diberitahu tentang hakikat tugas orang-orang yang dia pilih itu, kemudian bila dia tetap bersikukuh terhadap hal itu maka dia itu kafir. Dan tidak boleh tergesa-gesa mengkafirkannya sebelum penegakkan hujjah dan pemberian penjelasan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: (Tidak seorangpun boleh mengkafirkan seseorang dari kaum muslimin – walaupun dia keliru dan salah – sehingga hujjah tegak terhadapnya dan jelas dihadapannya penjelasan. Orang yang telah jelas keislamannya secara meyakinkan adalah tidak dilenyapkan keislaman itu darinya dengan sekedar keraguan; bahkan hal itu tidak lenyap kecuali setelah penegakkan hujjah dan penghilangan syubhat). Selesai dari Majmu Al Fatawa terbitan Dar Ibni Hazm 12/250.[8]

Penterjemah (Abu Sulaiman Aman Abdurrahman) berkata: Ini diterjemahkan dari kitab Ar Risalah Ats Tsalatsiniyyah Fit Tahdzir Minal Ghuluww Fit Takfier atau disebut juga Risalatul Jufri Fi Annal Ghuluww Fit Takfier Yuaddi Ilal Kufri, Syaikh Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Abu Muhammad 'Ashim Al Maqdisiy Hafidhahullah Berkata Di Dalam An Nukat Al Lawaami’

(Alih Bahasa: Abu Sulaiman)

Al Maqdisiy berkata saat memberikan catatan terhadap Kitab Al Jami’ milik Syaikh Abdul Qadir: Berkaitan dengan orang-orang yang memilih, maka mesti ada rincian pada mereka, itu dikarenakan sesungguhnya orang yang memilih itu tidaklah terjun pada pembuatan hukum dan tidak terjatuh pada mukaffirat (hal-hal yang mengkafirkan) yang beraneka ragam yang terjatuh ke dalamnya si anggota parlemen yang dia pilih, seperti sumpah untuk menghormati UUD dan loyal terhadap arbabnya, atau tahakum (berhakim) kepada undang-undangnya dan pembuatan aturan yang tidak Allah izinkan sesuai (panduan) qowanin wadl’iyyah serta yang lainnya, si pemilih menjadi kafir bila dia memilih si anggota itu dan menjadikannya sebagai wakil dan pengganti dia untuk melakukan perbuatan-perbuatan kekafiran ini, oleh sebab itu si anggota parlemen dinamakan wakil (rakyat) karena ia mewakili sejumlah masyarakat yang memilihnya dalam hal pembuatan hukum atau tugas-tugas lainnya yang di jalankannya menurut teks-teks UUD.

Atas dasar ini, barangsiapa memilih mereka karena hal itu maka ia telah kafir, karena dia mengangkatnya sebagai wakil dia dalam menjalankan kekafiran, dan dia bersepakat dan bermufakat bersama mereka terhadap ajaran demokrasi yang mana ia adalah hukum rakyat untuk rakyat dan bukan hukum Allah. Dan inilah makna “maksud melakukan perbuatan kekufuran” yang wajib menjadi syarat dalam takfir para pemilih, bukan maksud untuk kafir yaitu keluar dari agama (Islam) sebagaimana yang di syaratkan oleh sebagian orang.

Adapun maksud memilih (dengan,ed.) begitu saja tanpa ada rincian sebagaimana yang dituturkan oleh mushannif (penulis), maka sesungguhnya ia tidaklah tepat dengan sebab tersamarnya keadaan parlemen-parlemen ini di hadapan manusia (terutama) banyak kalangan awam dan lanjut usia yang  egisl untuk memberikan suara mereka bagi karib-kerabat mereka atau kalangan lainnya yang mengangkat slogan-slogan (Islamlah Solusinya…!) dan yang serupa itu. Sesungguhnya diantara mereka ada yang tidak mengetahui hakikat pemilu dan maknanya, tidak (pula mengetahui) hakikat parlemen-parlemen ini, realitanya dan tugas-tugas para anggotanya serta apa yang dijalaninya di sana. Di antara para pemilih ada orang yang mengira para wakil itu dan berinteraksi bersama mereka serta memilih mereka atas dasar anggapan bahwa mereka itu para wakil, pelayan yang memberikan pelayanan-pelayanan bagi daerah mereka, suku mereka dan para pemilih mereka, seperti membangun RS atau jalan atau mengangkat kezaliman dan seterusnya, atau dia mengira bahwa dengan ia memilih syaikh fulan maka si syaikh itu akan menerapkan Islam sedang ia tidak tahu bahwa si syaikh shahibul fadhilah…!!! yang bersorban panjang itu akan mengucapkan sumpah di awal tahapan pekerjannya untuk menghormati kekafiran (UUD) dan loyal (setia) kepada orang-orang kafir dan para thoghut, serta bahwa ia tidak menjalankan kewenangan dan pekerjannya apa pun kecuali menurut pedoman butir-butir UUD dan undang-undang, dan bahwa tugas terpenting pekerjan mereka seluruhnya adalah tasyri’ (pembuatan hukum) yang mana terbentuk darinya nama Musyarri’ (anggota dewan egislative) dan nama Majlis Tasyri’ (lembaga egislative).

Barangsiapa mengetahui hal itu maka ia kafir sebagaimana yang dikatakan mushannif (hal: 780): “…karena pemilihan mereka ini pada hakikatnya adalah pengangkatan arbab selain Allah, sebagaimana ia di dalamnya mengandung pengakuan akan tugas parlemen yang memegang kewenangan pembuatan hukum secara muthlaq, sedangkan ini semuanya termasuk kekafiran yang nyata” selesai dari Al Jami’.

Barangsiapa memilih, memberikan suara dan mengangkat seorang wakil sedang ia mengetahui bahwa ini adalah hakikat tugasnya maka ia kafir meskipun ia tidak mengetahui bahwa Tasyri’ (pembuatan hukum) dan ketaatan di dalamnya adalah kekafiran dan kemusyrikan, selagi dia telah memaksudkan melakukan perbuatan yang mengkafirkan itu, karena sesungguhnya orang-orang yang mentati para alim ulama’ dan rahib-rahib mereka dan mengikutinya di atas hukum buatannya tidaklah mengetahui bahwa ketatan dan pengikutannya ini adalah ibadah, sebagaimana dalam hadits ‘Addiy Ibnu Hatim Ath Thaiy, namun ternyata hal itu bukanlah penghalang dari keberadaan status mereka itu yang telah menyekutukan arbab bersama Allah.

Adapun suatu yang dengannya kami mengudzur orang-orang ‘awam di sini adalah ketidakadaan maksud dan pilihan mereka terhadap perbuatan yang mengkafirkan, akan tetapi banyak dari mereka sebagaimana yang dikenal oleh orang yang bergaul dengan kalangan ‘awam dan lanjut usia serta yang mengetahui mereka, tidaklah mengetahui arti dan hakikat majelis-majelis ini dan mereka tidak memilih orang-orang yang mereka pilih atas dasar bahwa mereka itu para pembuat hukum, dan mereka tidak mengetahui hakikat perbuatan mereka, akan tetapi mereka memilih orang-orang itu untuk pelayanan atau untuk memberlakukan syari’at tanpa mengetahui tata caranya, jadi mereka di sini tidak memaksudkan perbuatan yang mengkafirkan itu namun memaksudkan hal lain.

Dan inilah khatha’/kekeliruan (tidak adaanya kesengajan) yang di sebutkan Allah Ta’ala dalam firman-Nya: “Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padaanya, tetapi ( yang ada dosanya ) apa yang di sengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang “. (Al Ahzab: 5).

Dhahir mereka itu adalah bahwa mereka telah melakukan perbuatan yang mengkafirkan, akan tetapi mereka tidak dikafirkan kecuali setelah penegakkan hujjah dengan memberitahu mereka akan hakikat parlemen-parlemen ini dan hakikat para wakil rakyat itu.

Kesimpulan:

Bahwa kami tidak mengudzur mereka itu pada ketidaktahuan mereka bahwa memilih para pembuat hukum dan mentaati mereka dalam hukum buatannya itu adalah kekafiran, dan tidak pula dengan apa yang sering dilontarkan sebagian orang bahwa tidak dikafirkan kecuali orang yang bermaksud kafir dan keluar dari agama, akan tetapi (kami mengudzurkan mereka) karena mereka tidak memaksudkan perbuatan yang mengkafirkan itu, namun mereka memaksudkan suatu yang lain, dan itu di sebabkan ketidaktahuan mereka akan hakikat dan realita parlemen-parlemen ini, sehingga keadaan mereka ini seperti keadaan orang non arab yang mengucapkan kalimat kekafiran (yang berbahasa arab) sedang dia tidak mengetahui maknanya.

(Selesai ucapan Syaikh Al Maqdisiy dalam An Nukat Al Lawami’ pada komentarnya terhadap ucapan Syaikh Abdul Qadir di tempat lain di Al Jami’ dalam materi yang sama)

 

 

 

 

Penjelasan Al Maqdisiy

Prihal Rincian Orang Yang Nyoblos Di Dalam Pemilu

(Alih Bahasa: Abu Sulaiman)

 

Beliau hafidhahullah berkata di dalam Risalah Al Isyraaqah Fi Su-aalaat Sawwaqah setelah menjelasan kekafiran secara ta’yin para anggota parlemen demokrasi beserta para calegnya, dan bahwa mereka itu tidak diudzur dengan sebab kejahilan, ijtihad dan takwil apapun, beliau berkata tentang status orang-orang yang nyoblos:

Adapun berkaitan dengan Muntakhib (orang yang nyoblos), maka sesungguhnya engkau telah mengetahui bahwa hakikat sebenarnya apa yang dia lakukan saat menganut ajaran syirik ini, adalah bahwa dia itu memilih pembuat hukum (raab/tuhan) di antara para arbaab (tuhan tuhan pembuat hukum) yang beraneka ragam itu!! supaya dengannya dia menjadi wakilnya di dalam tugas yang syirik ini.

Bisa jadi dia itu menginginkan tugas ini dan menganutnya serta menganggapnya sebagai hak dia yang dijamin oleh UUD saat dia melimpahkan kewenangan pembuatan hukum ini kepada rakyat yang diwakili oleh para anggota dewan itu, maka orang semacam ini tidak ada bedanya antara dia dengan si anggota dewan legislative itu, cuma si anggota dewan itu langsung terjun di dalam pembuatan hukum yang kafir, sedangkan si orang ini mewakilkan hak pembuatan hukum itu kepadanya. Dan sedangkan status hukum orang yang menopang di belakang dan orang yang mewakilkan itu adalah sama dengan status orang yang terjun langsung (di dalamnya). Di mana pada hakikatnya dia itu adalah musyarr’i’ (seorang pembuat hukum) yang ikut serta di dalam pembuatan hukum dengan cara wakalah (mewakilkan).

Atau bisa jadi dia itu tidak menganut permasalah ini seperti begitu, di mana dia itu tidak memiliki keinginan terhadap tugas pembuatan hukum dan dia tidak menganggap dirinya itu mampu untuk hal itu, terus dia menyerahkannya kepada orang-orang yang dia percayai dari kalangan para Doktor, para ulama, dan para ahli –menurutnya- serta orang-orang yang dia anggap mampu untuk melaksanakan tugas itu, dan dia menganggap dirinya pengikut mereka lagi ikut serta dengan mereka di dalam (hak) pembuatan hukum, maka dia itu telah menjadikan dan memilih mereka sebagai arbaab musyarri’iin (tuhan-tuhan pembuat hukum) yang dia limpahkan kepada mereka hak pembuatan hukum secara muthlaq, dia bersepakat dengan mereka terhadapnya serta dia menganutnya. Maka orang semacam ini adalah musyrik (terhadap Allah) di dalam ibadah. Sebagaimana yang telah lalu[9] bahwa status hukum orang semacam ini adalah sama seperti status hukum orang yang mentaati dan mengikuti kaum musyrikin di dalam penyamaan antara bangkai dengan sembelihan, Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa berfirman:

Ÿwur (#qè=à2ù's? $£JÏB óOs9 ̍x.õ‹ãƒ ÞOó™$# «!$# Ïmø‹n=tã ¼çm¯RÎ)ur ×,ó¡Ïÿs9 3 ¨bÎ)ur šúüÏÜ»u‹¤±9$# tbqãmqã‹s9 #’n<Î) óOÎgͬ!$u‹Ï9÷rr& öNä.qä9ω»yfã‹Ï9 ( ÷bÎ)ur öNèdqßJçG÷èsÛr& öNä3¯RÎ) tbqä.Ύô³çRmQ ÇÊËÊÈ

“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (QS. Al An’am [6] : 121)

Dan ayat ini sebagaimana yang telah lalu adalah tentang pembuatan satu macam hukum saja, maka bagaimana dengan orang-orang yang melimpahkan dan dan mewakilkan kepada mereka kewenangan pembuatan hukum secara muthlaq serta dia menyerahkannya kepada mereka? Dan dia itu sama seperti orang yang mentaati para ulama dan para pendeta di dalam pembuatan hukum (tasyri’) yang mana mereka telah Allah sebutkan di dalam firman-Nya:

(#ÿrä‹sƒªB$# öNèdu‘$t6ômr& öNßguZ»t6÷dâ‘ur $/$t/ö‘r& `ÏiB Âcrߊ «!$# yx‹Å¡yJø9$#ur šÆö/$# zNtƒötB !$tBur (#ÿrãÏBé& žwÎ) (#ÿr߉ç6÷èu‹Ï9 $Yg»s9Î) #Y‰Ïmºur ( Hw tm»s9Î) žwÎ) uqèd 4 ¼çmoY»ysö7ߙ $£Jt㠚cqà2̍ô±ç„ ÇÌÊÈ

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Arbaab (Tuhan) selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS. At Taubah [9] : 31).

Di mana Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa telah memvonis mereka sebagai kaum musyrikin, sedangkan takwil apapun tidak bermanfaat bersama syirik akbar, karena takwil macam apa yang bisa membolehkan pengangkatan tuhan selain Allah? Sebagaimana pelaku hal itu tidak diudzur karena kejahilan, di mana telah lalu bahwa Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa telah menegakkan hujjah-hujjah-Nya yang nyata atas hamba-hamba-Nya di dalam masalah seperti ini. Dia telah memfithrahkan mereka di atas hanifiyyah (tauhid) yaitu condong dan jauh dari syirik dan Dia mengutus semua rasul yang mengingatkan mereka akan hal itu, mengajak mereka kepada tauhid serta menghati-hatikan mereka dari kemusyrikan dan penyekutuan, akan tetapi mayoritas manusia tidak mau kecuali berlomba-lomba berjatuhan ke dalamnya.

  Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim di dalam Shahihnya bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam mengabarkan dari Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa bahwa Dia berfirman:”Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (bertauhid) seluruhnya, dan sesungguhnya syaitan-syaitan telah dating kepada mereka, kemudian mereka memalingkan mereka dari diennya dan mengharamkan atas mereka apa yang telah Aku halalkan bagi mereka, serta syaitan-syaitan itu memerintahkan mereka agar menyekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak Aku turunkan dalil tentangnya….” Inilah realita mayoritas manusia pada hari ini, di mana Allah sudah fithrahkan mereka di atas ajaran hanif dan Dia bimbing mereka kepada tauhid. Dia utus semua rasul-Nya untuk mengajak mereka kepadanya dan Dia turunkan kitab-kitab-Nya yang semuanya memerintahkan mereka untuk bertauhid dan menghati-hatikan mereka dari syirik dan penyekutuan yang menggugurkan tauhid itu. Kemudian datanglah kepada mereka syaitan-syaitan jin dan manusia dari kalangan pendeta, dukun, anggota dewan dan para thaghut, terus mereka memperindah kemusyrikan itu di hadapan mereka, menghiasinya dan menamakannya dengan nama-nama yang modern seperti Demokrasi, Kebebasan atau Undang-Undang Modern (Positif)!! Terus mereka membuatkan bagi mereka dari undang-undang ini apa yang tidak Allah izinkan, dan memrintahkan mereka agar menyekutukan Allah dengan suatu yang tidak Allah turunkan dalil tentangnya, kemudian rakyat tersebut mengikuti mereka terhadap hal itu dan mematuhi mereka, sehingga mereka sesat dari jalan yang lurus. Dan Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam telah mengabarkan di dalam hadits ‘Adi Ibnu Hatim yang lalu bahwa kejahilan orang-orang yang mengikuti lagi bersepakat dengan para ulama dan para rahib atau (para anggota dewan) itu; bahwa taat di dalam pembuatan hukum itu adalah ibadah, adalah bukanlah udzur bagi mereka, dan hal ini sangat nampak dari ucapan ‘Adi mereka tidak mengibadati mereka itu), dan hal itu terlontar saat ‘Adi mendengar ayat (31) surat At Taubah dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam. Maka Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam mengabarkan kepadanya bahwa sekedar ketaatan mereka kepada para pembuat hukum di dalam tasyri’ (pembuatan hukum) itu adalah ibadah dan syirik, dan ia adalah hakikat pentuhanan orang-orang nasrani terhadap alim ulama dan para pendeta mereka, walaupun mereka itu tidak shalat dan sujud kepada mereka.

Oleh sebab itu kami katakan bahwa orang yang bermufakat dan bersepakat dengan para anggota dewan itu atau dengan pemerintah-pemerintah ini terhadap agama baru yang kafir ini (yaitu demikrasi, pent) yang melimpahkan kewenangan pembuatan hukum/undang-undang kepada selain Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dan menjadikan pembuatan undang-undang tersebut sesuai ketentuan UUD dan undang-undang buatan, maka sesungguhnya dia itu telah menjadikan mereka sebagai arbaab selain Allah dan telah mencari dien selain Islam.

Dan inilah hakikat apa yang mereka lakukan di dalam pemilu-pemilu tersebut, di mana di dalamnya mereka menganut ajaran demokrasi yang telah menjadikan hukum dan kedaulatan bagi rakyat bukan bagi Allah. Mereka itu mengangkat para tuhan yang akan mereka angkat sebagai para wakil mereka di dalam kekuasaan muthlaq pembuatan hukum sesuai ketentuan UUD.

Barangsiapa melakukan hal itu maka dia telah lepas dari millah dan tauhid, walaupun dia shalat, shaum dan walaupun dia mengaku muslim. Dan setiap orang mempertanggungjawabkan dirinya sendiri.

Dan barangsiapa memperhatikan kondisi-kondisi manusia pada hari ini, dan bagaimana mereka berbondong-bondong terhadap kemusyrikan yang nyata ini baik perorangan maupun beramai-ramai, maka dia mengetahui sebab keterpurukan umat ini dan kelenyapan kejayaannya serta penguasaan musuh-musuhnya terhadap mereka. Karena sesungguhnya dosa syirik adalah dosa terbesar yang dengannya Allah dimaksiati, sebagaimana di dalam hadits shahih bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam ditanya: Dosa apa yang paling besar? maka beliau menjawab: Kamu menjadikan tandingan bagi Allah sedangkan Dialah yang telah menciptakanmu.”

Dan darinya dia mengetahui karunia Allah terhadapnya karena Dia telah memberikan kepadanya hidayah kepada tauhid dan telah mengkaruniakan nikmat terhadapnya dengan menyelamatkan dia dari syirik dan penyekutuan.

Maka janganlah engkau menelantarkan tauhid yang agung ini, karena sesungguhnya ia adalah modal utama, sedangkan penelantarannya adalah kerugian yang nyata, maka yang mengherankan bukanlah bagaimana orang bisa binasa, namun yang mengherankan adalah bagaiamana orang bisa selamat!!

Hendaklah setelah ini semua dia mengingatkan semua orang yang dia kenal dan menghati-hatikan mereka dari syirik ini, untuk menyelamatkan mereka dari kerugian yang nyata yang mengurung mereka dengan sebab mereka mengikuti pemerintah-pemerintah ini ini terhadap agama kafirnya, baik mereka sadar maupun tidak mereka sadari.

Akan tetai mesti diperhatikan di sini, bahwa kami bersama apa yang telah kami lakukan berupa penghati-hatian dari syirik yang nyata yang telah meluas dan menjadi bencana ini, serta penjelasan kami prihal kekafiran orang yang bersepakat dan bermufakat terhadapnya bersama pemerintah-pemerintah ini, namun kami tidak mengkafirkan orang yang tidak memiliki keinginan atau orang yang dipaksa untuk ikut serta di dalam pemberian suara ini bila memang ada (orang semacam ini).

Dan begitu juga kami tidak mengkafirkan orang yang terpedaya, terus dia ikut serta di dalamnya dengan dugaan darinya bahwa lembaga-lembaga itu adalah majelis-majelis yang tugasnya adalah memberikan pelayanan sosial kepada rakyat, sebagaimana hal itu adalah dugaan banyak orang awam yang ikut memilih karib kerabat atau tokoh-tokoh yang mereka kenal dalam rangka hal itu.

Dan kami di sini tidaklah mengudzur dengan sebab kejahilan di dalam masalah syirik akbar, namun kami hanya mengudzur di sini dengan sebab kejahilan terhadap hakikat majelis-majelis ini. Sehingga dari itu sesungguhnya masalah ini menurut kami tergolong bab Al Khatha (kekeliruan maksud) atau intifaaul qashdi (ketidakadaan maksud), sebagaimana di dalam firman Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa: “Ya Tuhan kami janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau tersalah.”(Al Baqarah:286).

Gambaran: Bahwa orang awam atau orang jahil bila mengetahui hakikat majelis-majelis ini seperti apa yang telah lalu dijelaskan dan bahwa ia adalah lembaga-lembaga pembuatan hukum, dan ia bersepakat bersama orang-orangnya terhadap ajarannya yang kafir di mana dia mengakui bahwa mereka itu memiliki kewenangan muthlaq di dalam pembuatan hukum, atau dia memilih mereka sebagai orang-orang yang membuat hukum sesuai ketentuan UUD, maka dia itu menurut kami adalah musyrik walaupun dia tidak mengetahui bahwa tha’at di dalam pembuatan hukum itu adalah kekafiran, karena kami tidak mengudzurnya dengan sebab kejahilan di dalam masalah ini, sebagaimana Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam tidak mengudzur orang-orang yang disebutkan di dalam surat At Taubah, seperti di dalam hadits ‘Adi Ibnu Hatim tatkala samar atas mereka bahwa tha’ah di dalam pembuatan hukum itu adalah ibadah. Akan tetapi banyak dari kalangan awam, baik mereka itu kakek-kakek lanjut usia ataupun wanita jompo ataupun yang lainnya, mereka tidak mengetahui hakikat lembaga-lembaga legislative yang kafir ini, dan mereka tidak memilih atau ikut serta di dalam pemilu tersebut atas dasar anggapan bahwa itu sedang memilih para pembuat hukum, akan tetapi mereka melakukan hal tersebut atas dasar anggapan bahwa hal itu sedang memilih wakil-wakil mereka di dalam penyelesaian kesulitan-kesulitan mereka dan pelayanan mereka atau pelayanan daerah-daerah mereka. Ini adalah maksud dan tujuan banyak dari mereka, dan begitulah gambaran yang mereka ketahui tentang permainan (demokrasi) ini dan (dengan seperti itulah) mereka berinteraksi (dengan)nya. Oleh sebab itu barangsiapa di antara mereka itu memiliki ashlut Tauhid dan dia itu kafir terhadap thaghut dan ajarannya dan terus ikut serta di dalam pemilihan umum atas dasar anggapan dan qashd (maksud) ini, maka kami katakan: Sesungguhnya dhahir amalan dia adalah kekafiran, karena kita tidak mengetahui apa yang dia maksudkan kecuali kalau dia menyatakannya (dengan lisan), sebagaimana bahwa orang yang mengatakan:(Ya Allah Engkau adalah Hambaku dan aku adalah tuhan-Mu) dhahir ucapannya menurut kami adalah kekafiran selagi kita tidak mengetahui bahwa dia itu keliru lagi tidak memaksudkan hal itu. Dan kami katakan: Sesungguhnya mereka itu telah melakukan suatu amalan kekafiran dengan sebab keikutsertaan mereka secara dhahir di dalam permainan demokrasi yang menjadikan hakimiyyah (kekuasaan hukum) di tangan rakyat bukan di Tangan Allah, akan tetapi dikarenakan keadaan-keadaan manusia di dalamnya terdapat kesamaran tadi, maka kami tidak tergesa-gesa mengkafirkan person-person orang-orang awam itu, sampai kami mengetahui bahwa orang di antara mereka itu memaksudkan memilih para pembuat hukum dan bahwa dia itu mengetahui hakikat apa yang dia pilih itu. Dan bila kami tidak mengetahui hal itu darinya maka dia itu tidak dikafirkan sampai dijelaskan kepadanya hakikat lembaga-lembaga legislative ini, kemudian bila dia tetap bersikukuh terhadap hal itu, maka kami tidak segan-segan dari mengkafirkan orang tersebut secara ta’yin. Begitu juga orang yang mengatakan (:(Ya Allah Engkau adalah Hambaku dan aku adalah tuhan-Mu), kami katakan kepadanya: Kamu telah mengucapkan kalimat kekafiran,” kemudian bila dia rujuk dan istighfar dan mengatakan: Saya telah salah ucap, sedang maksud saya adalah memuji Allah dan saya tidak memaksudkan apa yang diucapkan oleh lidah saya secara keliru tadi,” maka kami tidak mengkafirkannya.  Namun bila dia malah bersikukuh dan tidak mencabut diri dan tidak istighfar maka kami mengkafirkannya, dan ucapan dia itu sama dengan ucapan Firaun “Akulah tuhan kalian yang paling tinggi”(An Nazi’at:24).

Beda halnya dengan orang yang memaksudkan penyandaran kewenangan pembuatan hukum kepada dirinya ataupun kepada orang lain, dan dia bersengaja terhadapnya serta berusaha melangkah ke arahnya, maka sesungguhnya dia itu langsung dikafirkan karena ia itu bersengaja kepada amalan kekafiran lagi bermaksud untuk memilihnya lagi tidak tersalah (keliru maksud). Intifaaul qashdi (ketidakadaan maksud) ini  juga bisa terjadi pada banyak orang-orang jahil dan awam yang tertipu oleh sebagian para caleg yang berjenggot!! saat mereka mengkaburkan al haq dengan al bathil, di mana mereka mendengung-dengungkan penegakkan syari’at Allah dan bahwa ini adalah tujuan mereka saat masuk parlemen serta mereka mencantumkan di dalam pamplet-pemplet kampanye mereka ungkapan-ungkapan yang penuh talbis dan slogan-slogan yang menarik lagi menipu..seperti (Islamlah Solusinya) serta slogan-slogan lainnya yang menipu kalangan awam.

Barangsiapa dibawa ke TPS dari kalangan lansia dan kalangan awam, dan dia terpedaya serta tertipu seraya memahami bahwa dengan pencoblosan para caleg yang berjenggot tersebut akan terealisasi pemberlakuan hukum Allah sedangkan dia tidak mengetahui hakikat tugas kekafiran mereka yaitu pembuatan hukum, dan tidak juga mengetahui hakikat parlemen bahwa ia itu adalah lembaga pembuatan hukum, serta dia tidak hadir ke pemilihan atas dasar pemahaman bahwa hukum dan kedaulatan itu berada di tangan rakyat sebagaimana yang ditegaskan oleh UUD, namun yang hadir dibenaknya adalah bahwa hal itu dalam rangka memilih orang yang akan menerapkan hukum Islam sesuai apa yang Allah ridlai, maka orang-orang semacam ini adalah orang-orang yang bodoh lagi sesat yang telah dijatuhkan atau terjatuh ke dalam amalan kekafiran, namun kita tidak boleh tergesa-gesa mengkafirkan person-person mereka sampai kita memberitahukan kepada mereka tentang hakikat lembaga-lembaga legislative ini dan hakikat tugas yang akan dilakukan oleh para anggotanya serta hakikat permainan yang mana mereka telah digiring kepadanya, kemudian bila mereka telah mengetahuinya dan mereka malah tetap bersikukuh untuk ikut serta di dalam ajaran kafir ini dan menyetujuinya serta memilih para pembuat hukum itu, maka kami tidak segan dari mengkafirkan mereka itu.

Jadi harus mengetahui rincian ini, dan bahwa udzur yang kami udzur dengannya di sini atau penghalang yang menghalangi dari pengkafiran orang mu’ayyan di sini adalah intifaaul qashdi (ketidakadaan maksud terhadap amalan yang mukaffir). Umpamanya: Seseorang menginginkan atau memaksudkan hal yang mubah atau termasuk hal yang haram sekalipun, kemudian dia terjatuh ke dalam kekafiran atau kemusyrikan tanpa dia memaksudkannya atau menginginkannya atau memilihnya, maka ia itu adalah khatha (ketersalahan) yang sumbernya adalah ketidaktahuan terhadap hakikat lembaga-lembaga ini,[10] inilah penghalang dari pengkafiran orang mu’ayyan bagi kami, bukan ketidaktahuan bahwa tha’ah (ketaatan) di dalam penyandaran kewenangan pembuatan hukum itu itu adalah kekafiran dan syirik akbar, beserta adanya maksud untuk memilih orang yang membuat hukum atau mentaatinya di dalam hukum itu atau melimpahkan kewenangan pembuatannya kepadanya, karena telah lalu bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam tidak mengudzurnya di dalam permasalahan ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] Dan perbedaan ini adalah yang menjadikan kami memberikan rincian prihal orang-orang yang ikut memilih, dan kami membedakan di dalam vonis hukum antara mereka dengan para anggota parlemen yang terjun langsung melakukan kekafiran-kekafiran ini. Dan masalahnya bukan sekedar perincian yang hanya berdasarkan selera atau sekedar istihsaan (anggapan baik menurut akal) semata tanpa dalil, sehingga vonis rincian hukum ini bisa kami berlakukan kepada para anggota dewan dan kami campur adukan hal itu dengan vonis hukum dan rincian kami terhadap orang-orang yang sekedar memilih; sebagaimana yang dianjurkan kepada kami oleh sebagian orang-orang baik di dalam kementar-komentarnya terhadap “Aqiidatunaa”.

[2] Artinya: Kamu terthalaq tiga. (pent)

[3] Begitulah UUD mereka menegaskan, kecuali dalam hal-hal yang menyentuh pasal-pasal yang berkaitan dengan sistim monarki turun temurun atau pasal-pasal lainnya yang melindungi tahta thaghut mereka, maka di dalam dien mereka para anggota parlemen itu tidak boleh menyinggungnya  atau mempermasalahkannya.

[4] Al Qamar:43.

[5] Beliau mengisyaratkan kepada apa yang telah beliau sebutkan sebelumnya, berupa bid’ah Jahmiyyah, Khawarij, Qadariyyah dan yang lainnya.

[6] Lihat Kitab kami (Ad Dimuqrathiyyah din kufriy) dan fatwa-fatwa di penjara Sawwaqah

[7] Telah lalu permilahan antara takfier muthlaq dengan takfier mu’ayyan di dalam kekeliruan takfier yang pertama.

 

[9] Dan hal ini juga masuk di dalam pintu syirik Asma dan Shifat Allah, dan hal itu adalah dengan sebab penamaan yang mereka berikan kepada para arbaab, para anggota dewan dan para thaghut mereka sebagai musyarri’ (pembuat hukum/undang-undang), sedangkan kewenangan muthlaq pembuatan hukum adalah salah satu Sifat Allah. Dan termasuk ilhaad (penyimpangan) di dalam Asma dan Sifat Allah adalah menyematkan sifat itu kepada selain Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa, sebagaimana kaum kuffar Quraisy melakukan ilhaad di dalam Asma dan Sifat Allah, di mana mereka membuat dari Asma dan Sifat Allah itu nama-nama bagi sembahan mereka, seperti ‘Uzza dari Nama Allah Al ‘Aziz…..(Sungguh serupa hati mereka itu).

[10] Memperhatikan hal seperti ini adalah suatu hal yang mesti dalam kaitan pengetahuan terhadap hakikat suatu ajaran berkaitan dengan takfier orang yang cenderung kepada ajaran-ajaran kafir tersebut. Dan rincian seperti ini adalah suatu kemestian dalam menyikapi orang yang tidak terlibat langsung di dalamnya. Inilah hukum yang diberlakukan oleh para ulama Sunnah saat menyikapi orang-orang yang cenderung kepada ajaran-ajaran yang pada hakikat sebenarnya adalah lebih kafir daripada Yahudi dan Nasrani, namun mereka tidak mengetahui hakikat isi ajaran tersebut, sehingga mereka memujinya atau cenderung kepadanya. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata tentang sekte Darziyyah dan Nushairiyyah: (Mereka itu adalah kafir dengan kesepakatan kaum muslimin, tidak halal memakan sembelihan mereka dan tidak halal menikahi wanita mereka, bahkan mereka itu tidak diakui (hidup di Darul Islam) dengan jizyah, karena sesungguhnya mereka itu murtaddun dari dienul Islam, bukan kaum muslimin, bukan juga yahudi dan bukan juga nasrani, mereka tidak mengakui kewajiban shalat lima waktu, tidak mengakui kewajiban shaum Ramadlan dan kewajiban haji, tidak mengakui pengharaman apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya seperti bangkai, khamr dan yang lainnya. Dan bila mereka menampakkan dua kalimah syahadat bersama hal-hal keyakinan-keyakinan ini, maka mereka itu  kafir dengan kesepakatan kaum muslimin) (Majmu Al Fatawa: 35/161)…… dan beliau berkata: (Namun mereka itu, keadaannya tersamar atas orang yang tidak mengetahui haal (hakikat keadaan) mereka, sebagaimana tersamar juga keadaan orang-orang Qaramithah Bathiniyyah tatkala mereka mengaku keturunan Fathimah dan menisbatkan diri kepada tasyayyu’ (pendukung Ali radliyallaahu 'anhu), sehingga orang yang mengikuti cenderung kepada mereka lagi tidak mengetahui bathin (isi) kekafiran mereka, oleh sebab itu orang yang cenderung kepada mereka itu adalah salah satu dari dua orang: Bisa jadi dia itu orang zindiq lagi munafiq atau dia itu orang jahil yang sesat. Dan begitu juga kaum Ittihadiyyah itu: Di mana para tokoh mereka adalah para pemimpin kekafiran yang wajib dibunuh dan tidak diterima taubat salah seorang di antara mereka bila ditangkap sebelum dia taubat, karena sesungguhnya mereka itu tergolong kaum zindiq yang paling besar yang menampakkan islam dan menyembunyikan kekafiran yang paling besar. Dan mereka itulah yang mengetahui pemahaman mereka dan penyelisihan mereka terhadap dienul Islam. Dan wajib memberi sangsi setiap orang yang menisbatkan diri kepada mereka, atau berdebat membela mereka, atau memuji mereka, atau mengagungkan kitab-kitab mereka, atau dikenal membantu mereka, atau tidak menyukai komentar negative terhadap mereka, atau mencari alasan-alasan untuk mengudzur mereka bahwa ucapan ini tidak diketahui apa isinya, atau orang yang mengatakan bahwa dia telah menulis kitab ini, serta alasan-alasan seperti ini yang tidak diucapkan kecuali oleh orang yang jahil  atau orang munafiq…….) (Majmu Al Fatawa : 2/131-132).

Beliau rahimahullah berkata juga sat menjelaskan kekafiran sekte  Ibnu ‘Arabi dan yang semisal dengannya dan bahwa kekafirannya lebih dasyat daripada yahudi dan nasrani, beliau berkata: (Maka setiap orang yang mengetahui isi ajaran madzhab ini dan menyetujuinya maka dia itu telah menampakkan kekafiran dan ilhaad. Dan adapun orang-orang yang tidak mengetahui yang berbaik sangka terhadap ucapan mereka itu dan tidak memahaminya serta mereka meyakini bahwa ucapan itu tergolong macam ucapan para syaikh ahli ma’rifah yang berbicara dengan ucapan yang shahih yang tidak dipahami oleh banyak manusia, maka mereka itu engkau dapatkan pada diri mereka ada keislaman dan keimanan dan mutaba’ah kepada Al Kitab dan As Sunnah sesuai keimanan mereka yang bersifat taqlid, dan engkau dapatkan pada diri mereka itu pengakuan terhadap orang-orang itu (Ibnu ‘Arabi dkk) dan baik sangka terhadap mereka, serta penerimaan terhadap mereka sesuai kejahilan dan kesesatan mereka. Dan tidak mungkin ada yang memuji mereka itu (Ibnu ‘Arabi dkk) kecuali orang kafir yang mulhid atau orang jahil yang sesat). (Majmu Al Fatawa: 2/368)(Bisa dirujuk Di Kitab Al Iidlaah Wat Tabyiin Fii Hukmi Man Syakka Au Tawaqqafa Fii Kufri Ba’dlith Thawaaghiit Wal Murtaddiin, Syaikh Ahmad Hamud Al Khalidiy: 33-34)

Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah juga saat ditanya tentang orang yang melakukan atau mengucapkan suatu kekafiran yang tidak dia ketahui maknanya, maka beliau tidak mengkafirkannya seraya berdalil dengan ayat Ya Tuhan kami janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau tersalah.”(Al Baqarah:286). (Silahkan Rujuk Kitab Juz Fi Jahlil Haal Wal Tibasil Haal, Syaikh Ali Al Khudlair).   

Kesimpulannya:

*        Orang yang memberikan suara dalam pemilu sedang ia mengetahui hakikat dan makna demokrasi dan mengetahui tugas parlemen dan para anggotanya, maka dia kafir walau tidak mengetahui bahwa itu adalah kekafiran. Jadi dalam hal ini dia Jahilul hukmi (bodoh akan hukum) namun tidak jahil akan hakikat dan makna apa yang dia lakukan, sedangkan Jahilul hukmi dalam hal ini tidaklah diudzur. Dan harus diingat bahwa seluruh bahasan ulama tauhid bahwa tidak ada udzur di dalam syirik akbar karena kejahilan, adalah berkaitan dengan kejahilan terhadap hukum. Dan kejahilan terhadap makna dan hakikat suatu perbuatan atau ucapan tidaklah masuk  di dalam masalah al ‘udzru bil jahli tapi masuk di dalam bahasan intifaaul qashdi atau al khatha, camkan hal ini dan jangan kalian tergolong orang yang lalai lagi serampangan karena kemalasan mencari ilmu!

*        Orang yang memberikan suara, sedang ia tidak mengetahui hakikat dan makna demokrasi juga tidak mengetahui hakikat parlemen (MPR/DPR) dan tugas para anggotanya, maka ia tidak dikafirkan sebelum ditegakkan hujjah terhadapnya dengan cara diberitahukan tentang hakikat hal tadi. Orang ini di sebut Jahilul Hal (bodoh akan keadaan). ( Pent ).

 

 

 

 
 
  Today, there have been 4 visitors (5 hits) on this page!  
 
This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free