Jamaah Tauhid Wal Jihad
  Majalah
 

BAHASAN TUNTAS MASALAH UDZUR JAHIL

DAN

BANTAHAN TERHADAP TIGA SYUBHAT TERBESAR

 

 

HADITS MU’ADZ

KISAH ORANG YANG BERWASIAT AGAR DIBAKAR

KISAH DZATU ANWATH

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PENYUSUN

ABU SULAIMAN AMAN ABDURRAHMAN

APAKAH  PELAKU SYIRIK AKBAR KARENA KEJAHILAN ATAU TAQLID ATAU TAKWIL ATAU IJTIHAD ITU DI’UDZUR?

 

Banyak orang dari kalangan ulama kaum musyrikin ataupun dari kalangan kaum muslimin penganut paham bid’ah, mereka tidak mengkafirkan person (orang mu’ayyan) para pelaku syirik akbar atau kekafiran yang langsung menohok syahadat tauhid, dengan alasan bahwa para pelakunya itu adalah orang bodoh terhadap hukum apa yang dilakukannya atau taqlid (ikut-ikutan) kepada para gurunya atau karena melakukan takwil atau karena ijtihad. Benarkah alasan mereka itu?

Menurut manhaj tauhid yang benar bahwa para pelaku syirik kabar atau kekafiran yang langsung menohok syahadat tauhid itu adalah tetap dikafirkan walaupun mereka itu tidak mengetahui hukum apa yang mereka kerjakan atau hanya ikut-ikutan  saja. Ini berdasarkan  banyak dalil dari Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma para ulama.

 

A.   Dalil dari Al Qur’an:

 

1. Firman Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa:

“Dan(ingatlah, ketika Tuhan-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berkata):”Bukankah Aku ini Tuhanmu ?”.Mereka menjawab : “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”.(Kami lakukan yang demikian itu)agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam)adalah orang yang lengah terhadap ini(keesaan  Allah),”atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang–orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak–anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu? <QS Al A’raf :172-173>

Di dalam ayat ini Allah ta’ala menjadikan kesaksian terhadap rububiyyah yang mengharuskan tauhid uluhiyyah yang Dia ambil dari manusia sebelum terlahir ke dunia sebagai hujjah atas manusia dalam hal tauhid, sehingga Dia ta’ala tidak menerima alasan ketidaktahuan mereka terhadap hukum bahwa yang mereka lakukan itu syirik “agar  kamu di hari kiamat tidak mengatakan :Sesungguhnya kami (Bani Adam)adalah orang-orang yang lengah terhadap ini” yaitu tidak mengetahui bahwa yang dilakukan itu adalah kemusyrikan.” Maksudnya bahwa Allah ta’ala tidak menerima darinya alasan ketidaktahuan.”(Aqidah Al Muwahidah:389).

Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: Seandainya tidak ada dalil terhadap pentauhidan Allah dan pengenalan-Nya kecuali apa yang manusia akui berupa rububiyyah Allah dan hak khusus-Nya dalam menciptakan, maka tentulah itu cukup sebagai dalil .” (Minhaj At Ta-sis Wat Taqdis:19).

Di dalam ayat ini juga Allah tidak menerima alasan taqlid(ikut-ikutan), di mana Dia mengatakan ”atau agar kamu tidak mengatakan : “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Allah sejak dahulu, sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka.” Maksudnya bahwa Allah Ta’ala tidak menerima darinya alasan taqlid kepada nenek moyang mereka.” (Aqidatul Muwahhidin:389), karena taqlid di dalam pokok ajaran dien ini dan di dalam makna syahadat laa ilaaha illallaah dan syahadat Muhammad Rasulullah adalah tidak berguna dan tidak bermanfaat menurut (seluruh) ulama.” (Minhaj At Ta-sis Wat Taqdis:18).

Al Imam Al Qurthubi rahimahullah berkata dalam tafsir ayat ini :....dan tidak ada ‘udzur bagi orang yang taqlid di dalam tauhid). .”(7/280).

Syaikh Abu Abdillah Abdurrahman Ibnu Abdil Hamid berkata tentang ayat di atas: Ibnul Qayyim berkata: Dikarenakan ayat Al A’raf ini ada di surat makkiyyah maka Allah menyebutkan di dalamnya mitsaq (perjanjian) dan pengambilan kesaksian yang umum bagi seluruh mukallaf yang telah mengakui rububiyyah-Nya, keesaan-Nya dan kebatilan syirik, di mana ia adalah mitsaq dan pengambilan kesaksian yang dengannya hujjah tegak atas mereka, udzur (alasan) terputus dengannya dan sangsi hukum menimpa dengannya serta pembinasaan menimpa dengan sebab menyelisihinya.”(al Jawabul Mufid Fi Hukmi Jahilit Tauhid, Aqidatul Muwahhidin:330).

2. Allah ta’ala berfirman:

” Sebagian diberi–Nya petunjuk dan sebagian pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan sebagai pelindung/sembahan (mereka) selain Allah dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk.” (Al A’raf:30).

Al Imam Al Baghawi rahimahullah berkata di dalam tafsirnya: Di dalam firman Allah ini ada dalil yang menunjukan bahwa orang kafir yang mengira  bahwa dia berada di atas kebenaran di dalam agamanya adalah sama dengan  orang kafir yang mengingkari dan orang (kafir)yang mu’anid (membangkang). (2/156).                                                                                                    

Syaikh Abdullah       Aba Buthain  rahimahullah berkata secara makna: Ibnu Jarir mengatakan: “Dan ini menunjukan  bahwa orang yang jahil itu tidaklah diudzur.” ( Ad Durar As Saniyyah 10/392).

3. Allah Ta’alaa berfirman:

“ Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah, dan (juga mereka memperuhankan) Al Masih Ibnu Maryam, padahal ,ereka itu tidak diperintahkan kecuali menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persukutukan.” (At Taubah:31).

Di dalam ayat ini Allah memvonisa orang-orang nasrani dengan banyak vonis yang diantaranya bahwa mereka itu beribadah kapada alim ulama dan para rahib mereka, mempertuhankannya, melanggar laa ilaaha illallaah, mereka musyrik serat para alim ulama dan para rahib itu telah memposisikan dirinya sebagai arbaab (tuhan-tuhan) selain Allah. Di dalam hadits riwayat At Tirmidzi yang dihasankan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, Rasulullah membacakan ayat ini di hadapan ‘Adi Ibnu Hatim yang saat itu masih beragama nasrani, dan ketika dia mendengar ayat tersebut, maka dia mengatakan:”Kami (orang-orang nasrani) tidak pernah mengibadati mereka.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Bukankah mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan kemudian kalian ikut menghalalkannya juga, dan bukankah mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan kemudian kalian ikut mengharamkannya juga?” ‘Adi menjawab:Ya” maka Rasulullah mengatakan:” Itulah peribadatan kepada mereka.” Di sini ‘Adi dan kaum nasrani tidak mengetahui bahwa penyandaran kewenangan  pembuatan hukum kepada selain Allah (yaitu kepada alim ulama dan pendeta) adalah sebagai bentuk ibadah kepada selain Allah dan merupakan kemusyrikan, namun Allah tidak mengudzur mereka.

Syaikh Abdullah Aba Buthain berkata :’Adi radliyallahu ‘anhu tidak menyangka bahwa menyetujui mereka dalam apa yang disebutkan itu adalah bentuk peribadatan dari mereka, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa hal itu adalah ibadah dari mereka kepada alim ulama dan para rahib, padahal mereka itu tidak meyakininya sebagai ibadah kepada mereka.” ( Al Intishar Li Hizbillahil Muwahhidin, Aqidatul Muwahhidin:12).

4. Allah ta’alaa mengabarkan bahwa orang-orang yang bodoh lagi taqlid sama-sama divonis kafir lagi kekal di dalam neraka bersama orang-orang yang diikuti dan menyesatkannya:

“Sehingga apabila mereka telah masuk semuanya, berkatalah orang-orang yang masuk kemudian(atau para pengikut) di antara mereka kepada orang-orang yang masuk terdahulu (para tokoh):” Ya Tuhan kami, mereka telah menyesatkan kami sebab itu datangkanlah kepada mereka siksaan yang berlipat ganda dari neraka.” Allah berfirman:”Masing-masing dapat siksaan yang berlipat ganda, akan tetapi kamu tidak mengetahui.”( Al A’raf:38).

Di dalam ayat ini sangat jelas bahwa Allah ta’ala memasukan  para tokoh kekafiran dengan para pengikutnya yang bodoh lagi taqlid ke dalam neraka, dan Allah melipatkan adzab bagi mereka semua, serta Dia tidak mengudzur orang-orang yang bodoh lagi taqlid itu. Dan hal serupa juga ada di dalam firman-Nya berikut ini:

5. Allah ta’ala berfirman:

“ Sesungguhnya Allah telah melaknat orang-orang kafir dan menyiapkan  bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka), mereka kekal di dalamnya selama-lamanya;  mereka tidak memperoleh seorang pelindungpun  dan tidak (pula) seorang penolong. Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan di dalam neraka, mereka berkata:” Alangkah baiknya andaikata kami taat kepada Allah dan taat pula kepada Rasul.” Dan mereka berkata:” Ya Tuhan kami sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami limpahkanlah kepada mereka adzab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar.” (Al Ahzab:64-68).

6. Allah juga menyematkan status musyrik bagi orang yang melakukan syrik akbar walaupun dia belum mendengar hujjah risaliyyah. Allah ta’alaa berfirman:

“Dan jika seorang dari orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu maka lindungilah ia samapai ia mendengar firman Allah.” (At Taubah:6).

Allah ta’alaa menyebutnya musyrik padahal dia belum mendengar hujjah (Al Quran).

7. Allah ta’alaa berfirman seraya mengkafirkan orang yang memperolok-olokan ajarannya padahal mereka tidak mengetahui bahawa itu adalah kekafiran:

“ Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab:”Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: ”Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah cari-cari alasan, karena kamu telah kafir setelah beriman.”(At Taubah:65-66).

Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq berkata: “Ibnu Taimiyyah berkata:” Dan di dalam ayat ini ada dalil yang menunjukan bahwa seseorang bila melakukan kekafiran itu sedangkan dia tidak mengetahui bahwa itu adalah kekafiran maka dia tidak diudzur dengan sebab itu, justru dia itu kafir.” (Ibthalut Tandid:201).

 

Adapun dalil dari As Sunnah maka di antaranya adalah:

1. Sabda Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam kepada orang yang bertanya tentang ayahnya yang meninggal dunia di atas syirik pada zaman jahiliyyah yang belum turun  Al Qur’an dan belum lahir Rasulullah:”Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka.”(HR Muslim). Padahal Abdullah ini adalah termasuk kaum yang Allah firmankan:”Agar kamu (Muhammad) memberikan peringatan kepada kaum yang mana bapak-bapak mereka belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai (bodoh).”(Yasin:6) dan firman-Nya:” Agar kamu (Muhammad) memberikan peringatan kepada kaum yang belum pernah dating kepada mereka seorangpun pemberi peringatan sebelum kamu, mudah-mudahan mereka mendapat petunjuk.”(As Sajdah:3).

Bila saja orang yang jahil kerena belum diturunkan Al Quran dan Rasulullah belum diutus adalah tidak diudzur bila mati di atas kemusyrikan, maka apa gerangan dengan orang-orang yang telah mendengar Al Quran dan bahkan mengaku umat Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam?

2. Juga Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam berkata kepada utusan Banul Muntafiq yang bertanya kepada beliau tentang ayah mereka yang mati zaman jahiliyyah di atas kemusyrikan:”Sesungguhnya bapak kamu Al Muntafiq itu benar-benar di dalam neraka.” Terus beliau berkata:”Demi Allah, bila kamu melewati kuburan orang musyrik mana saja baik itu orang Banu ‘Amir maupun Quraisy, maka katakan:”Aku diutus oleh Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam kepada kamu untuk memberi kabar gembira kepada kamu bahwa kamu digusur telungkup di dalam api neraka.” (Musnad Al Imam Ahmad 4/13(16251), lihat Az Zanad Syarh Lum’atil I’tiqad:99).

Syaikh Abdullathif berkata: Ibnul Qayyim rahimahullah berkata saat menjelaskan ahli fatrah pada hadits Banul Muntafiq dan sabda nya shallallaahu 'alaihi wasallam:” Sesungguhnya bapak kamu Al Muntafiq itu benar-benar di dalam neraka.”: Seandainya  tidak ada dalil terhadap pentauhidan Allah dan pengenalan-Nya kecuali apa yang telah mereka akui berupa rububiyyah Allah dan sifat khusus-Nya dalam menciptakan, maka tentulah itu cukup sebagai dalil.” (Minhajut Ta-sis Wat Taqdis:19) yaitu yang Allah jelaskan di dalam surat Al A’raf ayat 172-173 yang telah lalu dijelaskan.

Bila saja orang yang mati di atas syirik  akbar dipastikan masuk neraka padahal dia belum pernah mendengar Al Quran dan Rasul, maka apa gerangan dengan orang-orang sekarang?

3. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:”Sesungguhnya Allah berkata kepada penghuni neraka yang paling ringan siksanya:” Seandainya kamu memiliki segala apa yang ada di muka bumi, apa kamu mau menebus dirimu dengannya? Dia menjawab:”Ya.” Allah berkata:” Aku telah meminta darimu suatu yang lebih ringan dari hal ini saat kamu masih ada di sulbi Adam; yaitu kamu tidak menyekutukan (sesuatu) dengan-Ku, namun kamu tidak mau kecuali berbuat syirik.” (HR Al Bukhari:3334, dan Muslim:2805).

Hadits ini semakna dengan ayat 172-173 surat Al A’raf yang sudah dijelaskan tadi, di mana Allah menjadikan pengambilan kesaksian tauhid saat manusia masih ada di sulbi Adam sebagai hujjah dalam masalah syirik akbar.

 

Adapun ijma para ulama maka di antaranya adalah:

1. Apa yang dinyatakan Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah saat menuturkan macam-macam kaum yang murtad pada zaman khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq radliyallaahu 'anhu: Dan di antara mereka ada orang yang tetap di atas dua kalimah syahadat, akan tetapi dia mengakui kenabian Musailamah karena dugaan (darinya) bahawa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam menyertakan dia di dalam kenabian, dikarenakan Musailamah ini mengangkat para saksi palsu yang bersaksi baginya dengan (kenabian) itu, kemudian dipercayai oleh banyak manusia, namun demikian para ulama ijma bahwa mereka itu adalah orang-orang murtad walaupun mereka itu jahil terhadap hal itu, dan barangsiapa meragukan kemurtaddan mereka maka dia itu kafir.” (Syarh Sittati Mawadli Minas Sirah, Majmu’atut Tauhid:23).

Bila saja mengangkat seseorang sederajat dengan nabi maka divonis murtad dengan ijma ulama dan tidak diudzur karena kejahilannya, maka gerangan dengan mengangkat makhluk sederajat dengan Al Khaliq dengan menyandarkan ibadah kepadanya.

2. Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah berkata saat membantah seorang ulama kaum musyrikin (Dawud Ibnu Jirjis) yang mengudzur pelaku syirik akbar karena kebodohan, taqlid, takwil dan ijtihad yang salah: Orang yang mengklaim bahwa pelaku kekafiran ini (syirik akbar) karena takwil, atau ijtihad atau kesalahan atau taqlid atau kebodohan adalah diudzur, maka dia itu menyelisihi Al Kitab, As Sunnah dan Ijma tanpa diragukan lagi. (Al Intishar Li Hizbillahil Muwahhidin, Aqidatul Muwahhidin:18).

3. Beliau berkata juga: Para ulama ijma bahwa tidak boleh taqlid dalam  urusan tauhid dan kerasulan. ( Ad Durar As Saniyyah Fil Ajwibah An Najdiyyah:10/399-400).

4. Beliau berkata juga setelah menukil ucapan Ibnu Taimiyyah rahimahullah: Beliau rahimahullah telah memastikan di dalam banyak tempat prihal kekafiran orang yang melakukan kemusyrikan dan beliau menghikayatkan ijma kaum muslimin terhadap hal itu serta beliau tidak mengecualikan orang yang bodoh dan yang serupa dengannya. Allah ta’ala berfirman.”Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa penyekutuan (sesuatu) dengan-Nya.”  Dan Dia berfirman tentang Al Masih bahwa ia berkata:”Barangsiapa menyekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sungguh Allah telah mengharamkan surga terhadapnya, dan tempat kembalinya adalah neraka.” Barangsiapa mengkhususkan ancaman itu bagi orang mu’anid saja dan dia mengeluarkan orang yang jahil, orang yang melakukan takwil dan orang yang taqlid, maka dia itu telah menentang Allah dan Rasul-Nya serta dia telah keluar dari jalan kaum mukminin. ( Al Intishar, Aqidatul Muwahhidin:27).

Ini adalah dalil dari Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma para ulama tentant masalah ini. Kemudian bila ada hal yang menyelisihi ini maka jangan dijadikan sebagai penghadang dalil-dalil qath’iy ini, tapi carilah penjelasan tentang hal itu dari pernyataan para ulama yang bermanhaj yang benar. Wallaahu A’lam.

 

 

 

SYUBHAT DALAM MASALAH

TAKFIER PELAKU SYIRIK AKBAR

(1)

Hadits Mu’adz Ibnu Jabal Radliyallaahu 'Anhu

 

Banyak orang yang mengudzur para pelaku syirik akbar karena kebodohan terhadap hukum dengan berdalil dengan beberapa atsar yang mereka pahami secara salah, di antaranya adalah atsar tentang sujud Mu’adz radliyallaahu 'anhu kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam saat beliau pulang dari Syam. Di Syam, beliau melihat orang-orang ahli kitab sujud kepada para pembesar mereka (Haditsnya diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah dari Aisyah). Orang-orang itu mengatakan: “Ini kisah Mu’adz sujud kepada Rasulullah, namun beliau tidak mengkafirkannya karena Mu’adz jahil akan hal itu, padahal sujud itu adalah ibadah yang bila dipalingkan kepada selain Allah adalah syirik. Sehingga pelaku syirik akbar karena kebodohan tidaklah boleh dikafirkan. Bahkan Al Imam Asy Syaukani rahimahullah mengatakan:(Di dalam hadits ini ada dalil yang menunjukan bahwa orang yang sujud kepada selain Allah karena kebodohan adalah tidak kafir).(Nailul Authar: 6/631).”

Jawaban terhadap syubhat tersebut: Di dalam bahasan yang lalu sudah dijelaskan dalil dari Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma para ulama yang menjelaskan secara gamblang bahwa para pelaku syrik akbar karena kebodohan adalah tidak diudzur. Sehingga ketika kita mendapatkan suatu atsar yang secara selintas menyelisihi kaidah di atas karena kekurangan pemahaman kita terhadap kandungannya, maka tidak boleh secara serta merta kita membenturkan atsar itu dengan kaidah yang sudah baku yang berdasarkan dalil-dalil qath’iy  yang banyak tersebut. Karena tidak mungkin wahyu berbenturan dengan wahyu, tapi seharusnya yang dilakukan adalah mencari kejelasan tentang muatan atsar tersebut, dalam hal ini adalah hadits Mu’adz itu.

Di dalam atsar itu dikisahkan bahwa Mu’adz sujud kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam. Sebelum menjelaskan isi hadits Mu’adz, kita tanyakan kepada orang yang melontarkan syubhat tersebut beberapa pertanyaan ini:

  • Mungkinkah Allah memerintahkan malaikat-Nya untuk beribadah kepada selain-Nya?
  • Mungkinkah para malaikat melakukan kemusyrikan?
  • Mungkinkah Allah melaknat dan mengkafirkan makhluk-Nya karena tidak beribadah kepada selain-Nya?
  • Mungkinkah seorang rasul menerima peribadatan kepada dirinya?
  • Mungkinkah seorang rasul beribadah kepada selain Allah?
  • Dan mungkinkah terjadi penasakhan (penghapusan) hukum dalam masalah tauhidullah?

Orang itu pasti menjawab semua pertanyaan ini dengan jawaban “Tidak mungkin.”

Maka katakanlah kepada orang itu: Bukankah Allah memerintahkan malaikat agar sujud kepada Adam, dan merekapun sujud kepadanya, namun Iblis tidak mau sujud kepada Adam sehingga dia divonis kafir dan dilaknat Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa :”Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat:”Sujudlah kalian kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabbur dan adalah ia termasuk golongan yang kafir.”(Al Baqarah:34). Apakah ini sujud ibadah atau sujud tahiyyah dan ikram (sujud penghormatan)? Ini adalah sujud tahiyyah dan ikram.

Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan:” Sujud kepada Adam dalam rangka penghormatan, pengagungan, pemuliaan dan ucapan selamat, dan ia adalah ketaatan kepada Allah Azza Wa Jalla, karena ia adalah perealisasian perintah Allah Ta’alaa.”(Tafsir Al Qur’anil ‘Adhim: 1/100-101) dan beliau berkata sebelumnya dalam halaman yang sama: ”Dan hal ini (maksudnya sujud tahiyyah) adalah dahulu disyari’atkan pada umat-umat terdahulu, akan tetapi kemudian dinasakh di dalam syari’at kita…(kemudian beliau mengutarakan hadits Mu’adz).” Jadi sujud tahiyyah adalah syari’at bukan tauhid, karena tauhid tidak ada penasakhan di dalamnya, karena ia (tauhid yang merupakan lawan syirik) adalah hukum yang baku lagi mendasar yang tidak menerima perubahan dan penasakhan. (Lihat Ilmu Ushul Fiqhi, Abdul Wahhab Khalaaf: 226).

Al Imam Asy Syaukani rahimahullah berkata seraya menjelaskan bahwa sujud di sini adalah sujud tahiyyah: ”Karena sesungguhnya sujud kepada manusia adalah kadang boleh dalam sebagian syari’at sesuai apa yang dituntut oleh mashlahat. Dan ayat ini menunjukan bahwa sujud itu adalah kepada Adam, dan begitu juga ayat yang lain yaitu firman-Nya:”Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan Aku telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.”(Al Hijr:29) dan firman-Nya Ta’alaa: ”Dan ia menaikan kedua ibu bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf.”(Yusuf:100) sehingga pengharaman sujud (tahiyyah) kepada selain Allah di dalam syari’at Nabi kita shallallaahu 'alaihi wasallam itu tidaklah memestikan hal itu diharamkan di dalam syari’at-syari’at yang lain. Dan makna sujud adalah meletakkan kening di atas bumi, dan inilah pendapat Jumhur.”(Fathul Qadir:1/86).

Semua ini merupakan penjelasan bahwa ada yang dinamakan sujud tahiyyah (sujud penghormatan). Hal ini merupakan salah satu syari’at yang diperbolehkan di dalam umat terdahulu, dan ia itu di luar sujud ibadah yang berkaitan dengan syirik dan tauhid.

Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa mengabarkan kepada kita bahwa Nabi Ya’qub ‘alaihissalam bersama putera-puteranya sujud tahiyyah kepada Nabi Yusuf ‘alaihissalam:”Dan ia (Yusuf) menaikan kedua ibu bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf.”(Yusuf:100).

Al Imam Asy Syaukani rahimahullah berkata:” “Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf” yaitu kedua orang tua Yusuf dan saudara-saudaranya; dan maknanya: Bahwa mereka merebahkan dirinya seraya sujud kepada Yusuf, dan hal itu adalah boleh di dalam syari’at mereka sebagai tahiyyah(penghormatan).”(Fathul Qadir:3/69).

Beliau rahimahullah berkata juga: Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim dan Abu Asy Syaikh meriwayatkan dari Ibnu Ibnu Zaid, berkata: “Itu adalah sujud penghormatan sebagaimana para malaikat sujud sebagai penghormatan kepada Adam, dan bukan sujud ibadah.”(Fathul Qadir:3/71).

Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata ketika menjelaskan masalah-masalah yang dikandung ayat ini: “Sujud mereka seluruhnya kepada Yusuf.”(Majmuu’ Mu-allafat Asy Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab, Kitab Fadlaailul Qur’an Wat Tafsir:2/137), yaitu mereka sujud tahiyyah kepada Yusuf.

Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam tafsir ayat ini:” Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf,” yaitu sujud kepadanya; kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya, dan mereka itu berjumlah  sebelas orang”.Dan berkata Yusuf: ”Wahai ayahku inilah ta’bir mimpiku yang dahulu itu,” yaitu yang pernah diceritakan kepada ayahnya dahulu ”Sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku”(Yusuf:4), di mana hal ini (yaitu sujud tahiyyah) adalah diperbolehkan di dalam syari’at mereka, bila mereka mengucapkan salam kepada orang besar maka mereka sujud kepadanya, dan hal ini terus diperbolehkan berjalan sejak zaman Adam sampai syari’at Musa ‘alaihissalam, kemudian sujud ini diharamkan di dalam millah (Muhammad) ini, dan Allah menjadikannya khusus bagi Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa. Ini adalah isi ucapan Qatadah dan ulama (salaf) lainnya. Di dalam hadits disebutkan bahwa  ketika Mu’adz tiba di Syam, ternyata ia mendapatkan mereka (ahli kitab) sujud kepada para uskup mereka, kemudian tatkala ia sujud kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam, maka beliau bertanya: Apa-apaan ini wahai Mu’adz? Maka ia menjawab: Sesungguhnya saya melihat mereka sujud kepada para uskup mereka, sedangkan engkau adalah lebih berhak untuk diperlakukan seperti itu wahai Rasulullah.” Maka beliau berkata:”Seandainya saya boleh memerintahkan seseorang sujud kepada seseorang tentu saya perintahkan wanita untuk bersujud kepada suaminya, karena besarnya hak suami terhadapnya.” Dan di dalam hadits lain disebutkan bahwa Salman berjumpa dengan Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam di suatu jalan Madinah, sedangkan Salman ini adalah baru masuk Islam, maka ia sujud kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, maka beliau berkata: ”Janganlah kamu wahai Salman bersujud kepadaku, tapi bersujudlah kepada Dzat Yang Maha Hidup Yang Tidak akan pernah mati.” Dan maksudnya adalah bahwa hal ini (yaitu sujud tahiyyah) adalah boleh di dalam syari’at mereka, oleh sebab itu mereka (orang tua Yusuf dan saudara-saudaranya) sujud kepadanya.”(Tafsir Al Qur’anil ‘Adhim:1/597).

Perhatikanlah wahai saudaraku, bahwa para ulama salaf menjelaskan kepada kita bahwa sujud itu ada 2 macam, sujud ibadah dan sujud tahiyyah :

·         Sujud ibadah adalah sujud yang bila dipalingkan kepada selain Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa merupakan syirik akbar yang tidak mungkin ada penasakhan tentang hukumnya dan yang tidak mungkin boleh di dalam syari’at nabi manapun.

·         Sedangkan sujud tahiyyah adalah yang berkaitan dengan syari’at halal dan haram yang bisa berbeda hukumnya antara satu nabi dengan nabi yang lainnya, dan yang bisa masuk di dalamnya pintu nasakh dan mansukh, dan tidak berkaitan dengan syirik akbar atau dengan tauhid, serta orang yang tidak mengetahui dalil pengharamannya adalah diudzur.

 

Sedangkan hadits Mu’adz ini adalah berkaitan dengan sujud tahiyyah sebagaimana uraian ulama salaf di atas, bukan tentang sujud ibadah yang bila dipalingkan kepada selain Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa adalah merupakan syirik akbar. Sehingga jelaslah bahwa menempatkan hadits Mu’adz sebagai dalil pengudzuran pelaku syirik akbar karena kebodohan adalah termasuk sikap menempatkan dalil bukan pada tempatnya, dan itu bukan manhaj salaf. Manakah slogan ” harus memahami Al Qur’an dan As Sunnah sesuai manhaj salaf” yang diklaim oleh orang-orang yang mengaku pengikut salaf yang berdalil dengan hadits Mu’adz untuk mengudzur pelaku syirik akbar karena kebodohan, sedangkan mereka sama sekali tidak mengutarakan ucapan seorang salaf-pun tentang penjelasan hadits Mu’adz ini?

Perhatikanlah ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ketika menjelaskan kedudukan sujud yang ada di dalam hadits Mu’adz ini, beliau menjelaskan bahwa sujud Mu’adz ini adalah sujud tahiyyah: ”……sampai-sampai (Allah) melarang melakukan (hal yang menyerupai) ibadah dalam rangka tahiyyah dan ikraam (penghormatan) kepada makhluk, oleh sebab itu Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam melarang Mu’adz dari sujud kepadanya dan beliau berkata kepadanya: “Seandainya saya boleh memerintahkan seseorang sujud kepada seseorang tentu saya perintahkan wanita untuk bersujud kepada suaminya, karena besarnya hak suami terhadapnya” dan beliau melarang  dari membungkuk di dalam penghormatan, serta melarang mereka dari berdiri di belakangnya di dalam shalat sedangkan beliau berdiri.”(Majmuu Al Fatawaa:1/75).

Di Dalam catatan kaki Kitab Al Jawahir Al Mudliyyah karya Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah, Syaikh Muhammad Rasyid Ridla berkata: “Sujud itu hanyalah menjadi ibadah dengan sebab penetapan dari syari’at, dan ia itu dahulu adalah adat kebiasaan di dalam tahiyyah (penghormatan), dan termasuk contohnya adalah sujud (Nabi) Ya’qub dan putera-puteranya kepada Yusuf ‘alaihissalam.” ( Kitab Al Jawahir Al Mudliyyah karya Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab: 17)

Adapun ucapan Al Imam Asy Syaukani rahimahullah: Di dalam hadits ini ada dalil yang menunjukan bahwa orang yang sujud kepada selain Allah karena kebodohan adalah tidak kafir).(Nailul Authar: 6/631). Beliau tidak mengatakan bahwa barangsiapa melakukan syirik akbar karena kebodohan maka dia tidak kafir, tapi beliau mengatakan “bahwa orang yang sujud kepada selain Allah karena kebodohan adalah tidak kafir”, sedangkan beliau berbicara tentang hadits yang menjelaskan larangan sujud tahiyyah kepada selain Allah. Maka dhalimlah bila kita menisbatkan pengudzuran pelaku syirik akbar karena kejahilan kepada beliau rahimahullah dengan hanya bersandar kepada ucapannya yang samar. Seharusnya kita berhati-hati, karena beliau sedang mengutarakan sujud tahiyyah yang berkaitan dengan syari’at bukan berkaitan dengan syirik akbar. Justeru ucapan beliau rahimahullah yang sangat tegas menyatakan bahwa pelaku syirik akbar karena kejahilan itu tidak diudzur, beliau berkata:”Bila kamu mengatakan: “Orang-orang yang mengkultuskan mayit itu tidak mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah syirik, bahkan seandainya seseorang di antara mereka dihadapkan dengan ancaman pedang sekalipun tentu dia tidak akan mengakui bahwa dia itu menyekutukan Allah, bahkan seandainya dia mengetahui sedikit saja bahwa hal itu adalah syirik tentulah dia tidak akan melakukannya.” Maka saya katakan: Realitanya memang seperti apa yang kamu katakan, tapi tidak samar lagi atas kamu apa yang sudah baku di dalam sebab-sebab kemurtaddan, bahwa di dalam keterbuktian kemurtaddan itu tidaklah disyaratkan adanya pengetahuan…….” (Ad Durr An Nadliid:82).

Beliau rahimahullah juga berkata ketika mengingkari pengudzuran kejahilan di dalam syirik akbar: “Sesungguhnya kelompok-kelompok kafir seluruhnya dan para pelaku syirik semuanya, hanyalah terjatuh ke dalam kekafiran dan ke dalam sikap penolakan terhadap al haq serta kebersikukuhan mereka di atas kebatilannya  adalah dengan sebab keyakinan (yang mereka anut) dalam kebodohan.” (Ad Durr An Nadliid:111).

Beliau rahimahullah juga berkata seraya menukil ucapan Abul Wafaa Ali Ibnu ‘Uqail Al Baghdadi rahimahullah dan mengakuinya:”Dan berkata Abul Wafaa Ibnu ‘Uqail di dalam Al Funuun:”Tatkala taklif-taklif (syari’at) itu dirasa berat oleh orang-orang bodoh dan para pengekor, maka mereka berpaling dari tuntunan-tuntunan syari’at kepada sikap pengagungan ajaran-ajaran yang mereka ada-adakan sendiri, sehingga ajaran-ajaran itu terasa ringan atas mereka, karena dengannya mereka tidak masuk di dalam perintah selain diri mereka. Dan mereka itu adalah kafir menurut saya dengan sebab ajaran-ajaran ini.” (Ad Durr An Nadliid:119).

Jadi begitulah ucapan beliau yang jelas lagi tidak ada kesamaran di dalamnya.

Bahkan Asy Syaikh Abu Abdillah Abdurrahman Ibnu Abdil Hamid berkata di dalam Risalah Al Jawab Al Mufid Fi Hukmi Jahilit Tauhid: “Dan berkata juga Asy Syaukani: (Dan bila sudah terbukti jelas apa yang telah kami utarakan prihal orang yang menghina Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, maka lebih utama lagi orang yang menghina Allah tabaaraka wa ta’alaa atau menghina Kitab-Nya atau (menghina) Islam atau mencela dein-Nya. Dan kafirnya orang yang melakukan hal ini adalah tidak membutuhkan kepada burhaan (dalil)). Bahkan lihatlah ucapan Al Imam Asy Syaukani sendiri di dalam salah satu tulisannya yang di dalamnya beliau mengkafirkan mayoritas penduduk Yaman di zamannya dan memvonis mereka murtad dari Islam, dan beliau menuturkan dalil-dalil terhadap hal ini. Umpamanya beliau berkata: (Dan telah sah dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bahwa beliau berkata,” Tidak ada pemisah di antara seorang hamba dengan kekafiran kecuali meninggalkan shalat,” jadi orang yang meninggalkan shalat dari kalangan masyarakat adalah kafir, dan sama kafirnya juga orang yang mengerjakan shalat sedangkan dia tidak benar di dalam dzikir-dzikir dan rukun-rukunnya yang mana shalat tidak sah kecuali dengannya, karena dia itu meninggalkan hal fardlu yang tergolong kefardluan terpenting atas dirinya dan (meninggalkan) kewajiban yang tergolong kewajiban paling besar, yaitu mengetahui apa yang mana shalat tidak sah kecuali dengannya)….sampai beliau berkata:(Dan sering sekali masyarakat itu mendatangkan ucapan-ucapan kekafiran, di mana dia mengatakan: Dia yahudi, hendaklah dia mengerjakan ini atau itu. Dan sesekali dia murtad dengan sebab ucapan dan sesekali (dia murtad) dengan sebab perbuatan sedangkan dia tidak menyadarinya. Dan dia mencerai isterinya sampai baa-in (lepas total) darinya dengan ucapan-ucapan yang selalu dia ucapakan). Dan beliau (Al Imam) Asy Syaukani berkata juga: (Dan tidak diragukan lagi bahwa tingkah mereka melakukan hal-hal besar semacam ini adalah tergolong sebab-sebab terbesar yang menyebabkan mereka kafir dan melenyapkan keimanan, yang wajib atas setiap individu kaum muslimin untuk mengingkarinya, dan wajib atas setiap orang yang mampu untuk memerangi para pelakunya sampai mereka kembali kepada dienul Islam yang dengannya Allah mengutus penutup para rasul shallallaahu 'alaihi wasallam). Maka lihatlah semoga Allah merahmatimu, bagaimana penulis (yaitu Asy Syaukani) berbicara di sini tentang syirik akbar dan beliau memvonis pelakunya sebagai orang musyrik, dan bahwa kekafirannya tidak butuh kepada dalil! Dan lihatlah bagaimana Asy Syaukani mengkafirkan mayoritas penduduk Yaman padahal mereka itu menunaikan shalat, akan tetapi mereka tidak mengetahui bahwa shalat mereka itu tidak sah, sehingga menurut beliau status mereka itu sama dengan status orang yang tidak shalat. Dan bagaimana bahwa di antara mereka itu ada yang murtad dengan sebab ucapan atau perbuatan sedangkan dia tidak menyadari bahwa dirinya itu telah kafir dengan sebab hal itu, dan hal ini tidaklah menjadi udzur dalam memvonis dia sebagai orang kafir. Bahkan Asy Syaukani memandang bahwa mereka itu berada di luar dienul Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam, sehingga wajib untuk memerangi mereka atas setiap orang yang mampu sampai mereka kembali kepada dienullah! Fa laa haula wa laa quwwata illaa billaah.” (Aqidatul Muwahhidin, Al Jawabul Mufid:375).

Ini adallah penjelasan berkaitan dengan jawaban terhadap orang-orang yang berdalih dengan hadits Mu’adz untuk mengudzur pelaku syirik akbar karena kejahilan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SYUBHAT DALAM MASALAH

TAKFIER PELAKU SYIRIK AKBAR

(2)

Hadits Tentang Orang Yang Berwasiat Kepada Keluarganya Agar Membakar Jasadnya Bila Sudah Mati

 

Sebagian orang yang mengudzur pelaku syirik akbar karena kejahilannya terhadap hukum, berdalih untuk pemahaman mereka yang batil itu dengan hadits prihal orang yang berwasiat kepada keluarganya agar membakar jasadnya bila dia sudah mati. Yaitu apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam berkata:”Seorang laki-laki yang tidak mengamalkan sedikitpun amalan kebaikan berkata keluarganya bahwa bila dia mati, maka bakarklah jasadnya kemudian taburkan separuhnya di daratan dan separuhnya di lautan, di mana demi Allah seandainya Allah kuasa terhadapnya tentu Dia benar-benar akan mengadzabnya dengan adzab yang tidak Dia timpakan kepada seorangpun. Kemudian tatkala si orang itu mati, maka mereka (keluarganya) melakukan terhadapnya apa yang telah diperintahkan kepada mereka. Maka Allah memerintahkan daratan agar mengumpulkan apa yang ada di dalamnya, dan Dia memerintahkan lautan agar mengumpulkan apa yang ada di dalamnya. Kemudian Dia berkata:”Kenapa kamu melakukan hal ini? Orang itu menjawab: Karena takut kepada-Mu Ya Rabb, sedangkan Engkau lebih mengetahui. Maka Dia-pun mengampuninya.”

Mereka mengatakan: Orang ini jahil dan mengingkari kebangkitan setelah mati, namun dia tidak dikafirkan dan bahkan dia malah diampuni, karena dia jahil. Sehingga diketahuilah bahwa pelaku syirik akbar karena kejahilan itu diudzur dan tidak dikafirkan.

Maka kita jawab: Bahwa hadits ini bukan berkaitan dengan pelaku syirik akbar, di mana orang tersebut adalah orang yang bertauhid lagi tidak melakukan syirik akbar, dan ini dengan nash hadits itu sendiri, di mana di dalam riwayat lain yang shahih dinyatakan bahwa orang tersebut ” tidak mengamalkan sedikitpun amalan kebaikan kecuali tauhid,” sebagaimana dari jalur Abu Kamil dari Hammad dari Tsabit dari Abu Rafi’ dari Abu Hurairah radliyallaahu 'anhu. Dan hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnadnya dengan sanad yang shahih dari Abu Hurairah secara marfu’ dan dari Ibnu Mas’ud secara mauquf.

Al Imam Abdullathif Ibnu Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata saat membantah seorang ulama kaum musyrikin (Dawud Ibnu Jirjis Al ‘Iraqi) yang mengudzur pelaku syirik akbar karena kejahilan yang berdalih dengan hadits di atas:( Hadits orang yang memerintahkan keluarganya untuk membakar jasadnya adalah dia itu orang yang bertauhid bukan termasuk pelaku kemusyrikan, di mana telah tsabit (shahih) dari jalur Abu Kamil dari Hammad dari Tsabit dari Abu Rafi’ dari Abu Hurairah radliyallaahu 'anhu,” tidak mengamalkan sedikitpun amalan kebaikan kecuali tauhid” sehingga gugurlah pengambilan dalih dengan hadits ini di dalam masalah yang sedang diperbincangkan).(Minhaj At Ta-sis Wat Taqdis Fi Kasyfi Syubuhat Dawud Ibni Jirjis: 217).

Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman  rahimahullah berkata di dalam kitabnya Tamyiz Ash Shidqi Minal Main Fi Muhawaratir Rajulain:(….Orang yang memerintahkan keluarganya bila dia mati agar membakarnya dan menaburkan (abu)nya ke laut, maka sesungguhnya dia itu walaupun ragu terhadap qudrah Allah adalah seorang muwahhid lagi bukan termasuk pelaku kemusyrikan, di mana telah tsabit (shahih) dari jalur Abu Kamil dari Hammad dari Tsabit dari Abu Rafi’ dari Abu Hurairah radliyallaahu 'anhu,” tidak mengamalkan sedikitpun amalan kebaikan kecuali tauhid”).(Dinukil dari Kitab Ath Thabaqat, Al Khudlair:17).

Al Hafidh Ibnu Rajab Al Hanbaliy rahimahullah berkata seraya mengomentari hadits “maka dikeluarkan dari api neraka orang-orang yang tidak melakukan amalan kebaikan sedikitpun….” : (Yang dimaksud dengan sabdanya “tidak melakukan amalan kebaikan sedikitpun” dari amalan jawarih (anggota badan) meskipun mereka itu memiliki inti tauhid, oleh sebab itu telah ada di dalam hadits orang yang memerintahkan keluarganya agar membakar jasadnya setelah dia mati (tambahan)”sesungguhnya dia tidak melakukan amalan kebaikan sedikitpun selain tauhid” yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dari Abu Hurairah secara marfu’ dan dari hadits Ibnu Mas’ud secara mauquf).(Dari Kitab At Takhwif Minan Nar Wat Ta’rif Bi Haali daril Bawaar, bab ke 28 hal 260 terbitan Dar Ar Rasyid, dinukil dari Ar Risalah Ats Tsalatsiniyyah, kekeliruan takfir no 27, Al Maqdisiy).

Syaikh Abu Abdillah Abdurrahman Ibnu Abdil Hamid berkata saat membantah syubhat orang yang mengudzur pelaku syirik akbar karena kejahilan seraya berdalih dengan hadits di atas: (Yang nampak jelas dari nash-nash itu bahwa si laki-laki itu bukanlah orang musyrik, di mana dia tidak melakukan kemusyrikan dalam keadaan tidak mengetahui bahwa Allah-lah Dzat yang hanya berhak diibadati terus dia diudzur dengan sebab hal itu!! justeru dia itu adalah berada di atas tauhid, dan tidak mengibadati sesuatupun bersama Allah dengan bentuk peribadatan apapun, terus Allah mengudzurnya dengan sebab kejahilannya di dalam kemusyrikan kepada Allah!! Sejumlah ulama berkata: Orang ini adalah berada di masa fatrah di saat bermanfaat sekedar tauhid, dan tidak ada taklif sebelum datangnya syari’at menurut pendapat yang shahih).(Al Jawabul Mufid Fi Hukmi Jahilit Tauhid, Aqidatul Muwahhidin:361).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: (Orang tersebut adalah beriman kepada Allah secara umum dan beriman kepada hari akhir secara umum, dan beriman bahwa Allah akan memberikan balasan dan siksaan setelah kematian). (Majmu Al Fatawa 12/263, dinukil dari Ar Risalah Ats Tsalatsiniyyah hal 279).

Sedangkan di dalam manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, sesungguhnya pelaku syirik akbar atau pelaku tawalli kepada kaum musyrikin itu tidak disebut orang muslim apalagi disebut orang yang beriman (mu’min), Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam kitab beliau Thariqul Hijratain wa Babus Sa’adatain (hal 452) : “Islam itu adalah mentauhidkan Allah dan ibadah hanya kepada Allah saja tidak ada satupun sekutu bagi-Nya, iman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti apa yang dibawa oleh Rasul, dan barangsiapa tidak membawa hal ini, maka ia bukan Muslim”.

Syaikh ‘Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata : “Ulama berijma, baik ulama salaf maupun khalaf dari kalangan para shahabat dan tabi’in, para imam dan semua Ahlus Sunnah bahwa orang tidak dianggap muslim, kecuali dengan cara mengosongkan diri dari syirik akbar dan melepaskan diri darinya…” (Ad Durar As Saniyyah : 11/545).

Jadi hadits itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan orang yang melakukan syirik akbar, sehingga menempatkan hadits ini untuk mengudzur para thaghut dan ansharnya yang bergelimang kekafiran dan kemusyrikan yang nyata dengan dalih kejahilan mereka adalah merupakan pemalsuan dalil dan pemalingan makna dari posisi yang sebenarnya.

Bila hal ini sudah jelas, maka tentang apa sebenarnya hadits tersebut?

Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah berkata: (Sebagian orang yang membela-bela kaum musyrikin berhujjah dengan “kisah orang yang berwasiat kepada keluarganya agar membakarnya setelah dia mati”, bahwa orang yang melakukan kekafiran (akbar) karena ketidaktahuan adalah tidak dikafirkan dan tidak dikafirkan kecuali orang yang mu’anid (orang yang bersikeras membangkang setelah mengetahui).

Jawaban terhadap hal ini adalah bahwa Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa telah mengutus rasul-rasul-Nya dalam rangka memberi kabar gembira dan memberikan peringatan supaya tidak ada hujjah lagi bagi manusia terhadap Allah setelah para Rasul itu. Sedangkan ajaran terbesar yang mana mereka diutus dengannya dan mereka mengajak kepadanya adalah beribadah kepada Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya serta melarang syirik yang mana ia adalah peribadatan kepada selain-Nya. Bila pelaku syirik akbar itu diudzur karena kebodohannya, maka siapa yang tidak diudzur ? Maka lazim (konsekuensi logis)nya klaim ini adalah bahwa tidak ada hujjah bagi Allah terhadap seorang pun kecuali orang yang mu’anid, padahal sesungguhnya penganut klaim ini tidak bisa memberlakukan secara baku kaidah dasar pemahamannya ini, akan tetapi dia pasti jatuh dalam kontradiksi pemahamannya sendiri, karena sesungguhnya dia tidak mungkin tawaqquf dalam mengkafirkan orang yang yang ragu terhadap kerasulan Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam atau orang yang ragu terhadap hari kebangkitan atau hal lain yang tergolong ushuluddin, sedangkan orang yang ragu itu adalah orang yang tidak mengetahui (jahil).

Dan para fuqaha rahimahullah di dalam kitab-kitab fiqh menuturkan hukum orang-orang murtad, di mana “Ia adalah orang muslim yang kafir setelah keislamannya baik secara ucapan, perbuatan, keyakinan ataupun keraguan,” sedangkan sebab keraguan adalah kebodohan. Dan konsekuensi logis pendapat ini adalah tidak boleh mengkafirkan orang-orang yang bodoh dari kalangan Yahudi, Nasrani dan orang-orang yang menyembah matahari dan bulan karena sebab kebodohan mereka, dan tidak boleh mengkafirkan orang-orang yang dibakar hidup-hidup oleh Ali Ibnu Abi Thalib radliyallaahu 'anhu, karena kita memastikan bahwa mereka itu orang-orang yang bodoh, sedangkan para ‘ulama rahimahullah telah ijma (sepakat) terhadap kekafiran orang-orang Yahudi dan Nasrani atau orang yang ragu terhadap kekafiran mereka, dan kita yakin bahwa mayoritas mereka adalah orang-orang yang jahil.

Syaikh Taqiyyuddin rahimahullah berkata : Barangsiapa yang menghina para sahabat atau salah seorang dari mereka dan penghinaannya ini disertai klaim bahwa Ali adalah tuhan atau bahwa Jibril keliru, maka tidak ada keraguan perihal kekafiran orang ini, bahkan tidak ada keraguan prihal orang yang tawaqquf dalam mengkafirkannya.

Beliau juga berkata : Barangsiapa mengklaim bahwa sahabat telah murtad sepeninggal Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam kecuali beberapa orang saja yang tidak sampai sekian belas orang atau bahwa mereka itu fasiq, maka tidak ada keraguan perihak kekafiran orang itu, bahkan barangsiapa ragu perihal kekafirannya, maka dia kafir.

Beliau berkata : Barang siapa mengira bahwa firman Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa “wa qadlaa rabbuka an laa ta’buduu illa iyyah” (Al Isra : 23) bahwa qadlaa di sini bermakna qaddara (mentaqdirkan)dan bahwa Allah tidak mentaqdirkan sesuatupun kecuali pasti terjadi, kemudian dia menjadikan para penyembah berhala itu tidak beribadah kecuali kepada Allah, maka sesungguhnya orang ini adalah tergolong manusia yang paling kafir terhadap semua kitab.(Selesai)

Di mana tidak diragukan bahwa para penganut pendapat ini adalah orang yang berilmu, zuhud dan ahli ibadah dan bahwa penyebab klaim mereka ini adalah kebodohan, sedangkan Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa telah mengabarkan tentang orang-orang kafir bahwa mereka itu berada di dalam keraguan dari apa yang diserukan para rasul kepada mereka dan bahwa mereka itu dalam keraguan perihal adanya kebangkitan, di mana mereka berkata kepada para rasul mereka:”Dan sesungguhnya kami benar-benar dalam keragu-raguan yang menggelisahkan terhadap apa yang kamu ajak kami kepadanya,” (Ibrahim:9) dan Allah berfirman:”Dan sesungguhnya mereka dalam keragu-raguan yang menggelisahkan terhadap Al Qur’an,” (Huud:110) dan Dia berfirman seraya mengabarkan tentang mereka:”Kami sekali-kali tidak lain hanyalah menduga-duga saja dan kami sekali-kali tidak meyakini(nya),” (Al Jatsiyah:32) dan Dia berfirman tentang orang-orang kafir:”Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan sebagai sembahan-semabahan (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk.” (Al A’raf:30) dan Dia ta’alaa berfirman:”Katakanlah: Apakah akan Kami beritahu kepadamu tentang orang-orang yang paling rugi amalannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya di dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya,” (Al Kahfi:103-104) dan Dia mensifati mereka dengan puncak kebodohan, sebagaimana di dalm firman-Nya ta’alaa:” Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi, mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Al An’am:179).

Dan Allah ta’alaa mencela kaum muqallidin dengan firman-Nya tentang ucapan mereka:”Sesungguhnya kami mendapatkan bapak-bapak kami menganut suatu ajaran, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) mereka.” Dan demikianlah Kami tidak mengutus sebelum kamu seorangpun pemberi peringatan dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: Sesungguhnya kami mendapatkan bapak-bapak kami menganut suatu ajaran dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.”(Az Zukhruf:22-23).

Namun demikian Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa mengkafirkan mereka. Para ulama dengan ayat ini dan ayat-ayat yang semakna dengannya berdalil bahwa tidak boleh taqlid di dalam mengenal Allah dan kerasulan. Hujjah Allah itu telah tegak atas manusia dengan pengutusan para rasul kepada mereka meskipun mereka tidak memahami hujjah-hujjah Allah dan penjelasan-penjelasan-Nya”)….. sampai beliau mengatakan:(” Jadi orang yang mengklaim bahwa pelaku kekafiran ini (syirik akbar) karena takwil, atau ijtihad atau kesalahan atau taqlid atau kebodohan adalah diudzur, maka dia itu menyelisihi Al Kitab, As Sunnah dan Ijma tanpa diragukan lagi. Padahal dai itu mesti menggugurkan dasar pemahamannya ini, karena seandainya dia membakukan dasar pemahamannya ini tentulah dia menjadi kafir tanpa diragukan lagi, umpamanya andaikata dia tawaqquf di dalam mengkafirkan orang yang ragu terhadap kerasulan Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam.

Adapun laki-laki yang berwasiat kepada keluarganya agar membakarnya dan bahwa Allah mengampuninya padahal dia itu ragu terhadap satu sifat Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa, maka sesungguhnya sebab dia diampuni itu adalah karena belum sampainya hujjah risaliyyah kepadanya, sebagaimana yang dikatakan oleh banyak ulama. Oleh sebab itu Syaikh Taqiyyuddien rahimahullah berkata: Barangsiapa ragu terhadap suatu sifat Allah sedangkan orang semacam dia itu tidak wajar tidak mengetahuinya, maka dia itu kafir, dan bila wajar tidak mengetahuinya maka dia tidak kafir.” Beliau berkata: Oleh sebab itu Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam tidak mengkafirkan orang yang ragu terhadap qudrah Allah ta’alaa, karena hal itu tidak terjadi kecuali setelah sampainya hujjah risaliyyah. Begitu juga Ibnu Uqail mengatakan dan membawanya kepada makna bahwa dakwah belum sampai kepadanya. Sedangkan pilihan Syaikh Taqiyyuddien dalam masalah sifat adalah bahwa orang yang jahil (terhadapnya) tidak dikafirkan, dan adapun di dalam masalah syirik dan yang serupa dengannya maka sikap beliau tidak seperti itu, sebagaimana nanti insya Allah kita akan melihat sebagian ucapannya, dan telah kami utarakan sebagian ucapan beliau tentang paham ittihadiyyah (Wihdatul Wujud) dan yang lainnya serta pengkafiran beliau terhadap orang yang ragu akan kekafiran mereka. Penyusun Ikhtiyarat (pendapat-pendapat pilihan) Syaikh berkata: “Orang murtad itu adalah orang yang menyekutukan Allah, atau orang yang membenci Rasul-Nya atau apa yang beliau bawa atau meninggalkan pengingkaran setiap yang mungkar dengan hatinya atau mengira bahwa di antara sahabat ada orang yang berperang bersama orang-orang kafir atau membolehkan hal itu atau mengingkari suatu ijma yang diijmakan secara qath’iy atau menjadikan antara dirinya dengan Allah para perantara yang mana dia tawakkal kepadanya, menyerunya dan memohon syafa’at kepadanya, maka dia itu kafir berdasarkan ijma. Dan barangsiapa ragu tentang suatu sifat Allah sedangkan orang semacam dia itu tidak wajar tidak mengetahuinya maka dia murtad, dan bila orang semacam dia itu wajar tidak mengetahuinya maka dia tidak murtad, oleh sebab itu Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam tidak mengkafirkan orang yang ragu terhadap qudrah Allah ta’alaa.” Di dalam mukaffirat (hal-hal yang mengkafirkan) yang dituturkan lebih dahulu beliau memuthlaqkannya begitu saja, namun dalam hal sifat beliau membedakan antara oarng yang jahil dengan yang lainnya.” (Al Intishar Li Hizbillahil Muwahhidin, Aqidatul Muwahhidin:18).

Namun sebenarnya, hadits itu bukan berkaitan dengan orang yang ragu terhadap sifat qudrah Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa, karena seandainya orang tersebut mengingkari qudrah-Nya, tentu dia tidak perlu mewasiatkan kepada keluarganya agar membakar jasadnya bila dia sudah mati dan akan membiarkan jasadnya dikubur biasa saja, sebab Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa tidak akan mampu untuk membangkitkannya (sesuai keyakinannya). Dan tatkala dia mewasiatkan hal tersebut, berarti dia meyakini benar bahwa Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa akan membangkitkan jasadnya bila dikubur biasa. Ini artinya bahwa yang dia ingkari itu bukan qudrah Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa secara umum, akan tetapi rincian dari qudrah Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa tersebut, yaitu qudrah Allah untuk membangkitkan jasadnnya bila telah dibakar dan ditaburkan di mana-mana, dan inilah yang tidak dia ketahui. Syaikhul Islam rahimahullah berkata: (Laki-laki ini mengira bahwa Allah tidak kuasa terhadap dirinya bila jasadnya sudah bertebaran di mana-mana, di mana dia mengira bahwa Allah tidak akan membangkitkannya bila jasadnya sudah seperti itu)…..-sampai ucapannya- (Yang ada di dalam hadits ini paling tidak adalah bahwa dia itu adalah orang yang tidak mengetahui segala apa yang menjadi hak Allah dari sifat-sifat itu, dan (tidak mengetahui) terhadap rincian bahwa Dia itu adalah Yang Maha Kuasa, sedangkan banyak dari kaum mukminin bisa saja jahil terhadap hal seperti ini, maka dia tidak menjadi kafir).(Majmu Al Fatawa:11/224-225, dinukil dari Risalatul Jufri, Al Maqdisiy:279).

Al Khaththabi rahimahullah berkata: (Hal ini bisa saja dianggap isykal (hal yang membingungkan), yaitu bagaimana dia diampuni sedangkan dia itu mengingkari kebangkitan setelah mati dan qudrah (Allah) untuk menghidupkan orang-orang yang sudaha mati? Maka jawabannya adalah bahwa orang itu tidak mengingkari kebangkitan setelah mati, namun yang terjadi adalah bahwa dia itu tidak mengetahui bahwa bila jasadnya diperlakukan seperti itu maka dia tidak akan dibangkitkan dan tidak akan diadzab, sedangkan telah nampak keimanannya  dengan bentuk pengakuan dia bahwa sebab dia melakukan hal itu hanyalah karena rasa takut kepada Allah)(Dituturkan Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari 6/604, dari Risalatul Jufri:280).

Ada juga ulama yang mengatakan bahwa orang tersebut mengucapkan ucapan itu dalam kondisi diliputi rasa takut yang sangat  sehingga dia tidak mampu mengendalikan lisannya dan hilang kesadaran kontrolnya, sehingga di sama dengan orang yang lupa, sedangkan dalam kondisi seperti ini orang tidak dikenakan sangsi hukum dengan sebab apa yang diucapapkannya.(Al Jawabul Mufid Fi Hukmi Jahilit Tauhid, Aqidatul Muwahhidin:359-360).

Bagaimanapun penafsiran para ulama itu, yang jelas semuanya tidak ada yang mengatakan bahwa hadits ini adalah dalil bagi pengudzuran pelaku syirik akbar karena kejahilan, sebagaimana yang dilontarkan oleh orang-orang sesat pada masa sekarang. Wallaahu A’lam.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SYUBHAT DALAM MASALAH

TAKFIER PELAKU SYIRIK AKBAR

(3)

Atsar Tentang Dzatu Anwaath

 

Sebagian orang yang mengudzur pelaku syirik akbar karena kebodohan berdalih dengan kisah Dzatu Anwaath. At Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Waqid Al Laitsiy, berkata: Kami keluar bersama Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam menuju Hunain sedangkan kami adalah orang-orang yang baru masuk Islam. Dan orang-orang musyrik memiliki sebuah pohon Sidr yang mana mereka duduk i’tikaf di sana dan mereka menggantungkan senjata-senjata mereka padanya, yang dinamakan Dzatu Anwath. Maka kami melewati sebuah pohon Sidr, dan kami berkata: Wahai Rasulullah jadikanlah bagi kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka itu memiliki Dzatu Anwath.” Maka Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam berkata: “Allahu Akbar, sesungguhnya ia adalah tuntunan-tuntunan itu, kalian telah mengatakan – demi Dzat Yang jiwaku ada di Tangan-Nya – seperti apa yang dikatakan Banu Israel kepada Musa:”Jadikanlah bagi kami tuhan sebagaimana mereka memiliki banyak tuhan,” Dia (Musa) berkata: Sesungguhnya kalian ini adalah orang-orang yang tidak mengetahui.” Sungguh kalian akan meniti jalan-jalan orang sebelum kalian.”(HR At Tirmidzi Dan Beliau Menilainya Shahih).

Mereka mengatakan: Ini sebagian sahabat yang baru masuk islam karena ketidaktahuannya, meminta tuhan kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam, namun beliau tidak mengkafirkannya, dan beliau menyamakan permintaan mereka seperti permintaan Banu Israil kepada Nabi Musa ‘alaihissalam. Berarti pelaku syirik akbar karena kejahilan itu tidaklah dikafirkan, namun mereka itu diudzur.

Jawabannya: Perlu diluruskan bahwa yang diminta oleh para sahabat yang baru masuk islam itu bukanlah meminta tuhan untuk diibadati, akan tetapi meminta suatu pohon yang memiliki barakah yang mana mereka bisa bertabarruk dengannya dengan cara menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon tersebut, di mana mereka mengira bahwa kalau Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam memerintahkan mereka bertabarruk dengan pohon tersebut maka pohon itu menjadi memiliki barakah. Sedangkan bertabarruk dengan sesuatu itu bukanlah artinya mengibadati sesuatu itu. Tabarruk adalah mencari barakah (kebaikan) dari sesuatu yang memiliki barakah sesuai penjelasan syari’at dengan cara yang ditentukan atau dibolehkan oleh syari’at, dan ini adalah tabarruk yang syar’iy. Sedangkan tabarruk yang tidak syar’iy adalah dengan sesuatu yang tidak ada dalilnya bahwa hal itu memiliki barakah, atau dengan cara yang tidak ada tuntunannya.

Para sahabat sering bertabarruk dengan anggota badan Rasululllah shallallaahu 'alaihi wasallam atau dengan suatu yang pernah beliau gunakan. Al Miswar Ibnu Makhramah dan Marwan Ibnul Hakam berkata:”Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam tidak berdahak melainkan dahaknya itu jatuh di telapak tangan seseorang, kemudian dia mengusapkannya ke wajah dan kulitnya. Dan bila beliau berwudlu, maka para sahabat hampir berebutan mengambil air bekas wudlunya.”(HR Ahmad dan Al Bukhari).

Abu Juhaifah radliyallaahu 'anhu berkata:”Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam keluar siang-siang kepada kami, maka beliau diambilkan air wudlunya kemudian beliaupun berwudlu, kemudian orang-orang mengambil dari sisa air wudlunya dan terus mereka mengusapkannya ke badan mereka.”(HR Al Bukhari).

Di dalam hadits Asma Bintu Abi Bakar radliyallaahu 'anha, beliau menyimpan pakaian Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dan mencucinya bila ada orang yang sakit untuk mengobatinya, sebagaimana di dalam Shahih Muslim.

Ini semuanya menjelaskan tentang tabarruk yang syar’iy, dan bahwa tabarruk dengan sesuatu itu bukanlah berarti beribadah kepada sesuatu tersebut. Sebagaimana tabarruk dengan jasad Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bukanlah beribadah kepada beliau.

Sedangkan kisah Dzatu Anwath, adalah bahwa para sahabat yang baru masuk islam itu meminta kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam agar menjadikan suatu pohon memiliki barakah sehingga mereka bisa bertabarruk dengannya dengan cara menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon tersebut, sedangkan ini adalah tergolong syirik ashghar atau bid’ah bukan syirik akbar, karena sesungguhnya mereka itu orang arab asli yang murni yang memahami bahasa dan makna dan mengetahui apa yang diinginkan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dari mereka, di mana beliau telah mendakwahi mereka sebelum itu dan mereka mengetahui bahwa meminta tuhan (ilaah) itu adalah dien mereka terdahulu yang pernah mereka anut dan telah mereka tinggalkan atas dasar ilmu, maka bagaimana bisa mereka meminta tuhan (ilaah) sedangkan Latta dan ‘Uzza telah mereka tinggalkan, dan permintaan seperti itu sangatlah tidak mungkin dari mereka karena keislaman mereka.(Lihat Kitab At Taudlih Wat Tatimmat ‘Alaa Kasyfi Asy Sybuhaat, Ali Al Khudlair:123).

Jadi kisah Dzatu Anwath ini adalah tentang syirik ashghar bukan syirik akbar. Dan ini adalah yang dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di dalam Iqtidlaa Ash Shiraathil Mustaqiim: (Dan tatkala kaum musyrikin memiliki sebuah pohon yang mana mereka menggantungkan senjata–senjata mereka diatas pohon itu, dan mereka menamakannya (( Dzatu Anwath )), maka sebagian orang berkata : Wahai Rasulullah buatkan bagi kami Dzatu Anwath ! maka beliau berkata : Allahu Akbar, ((sesunguhnya ia adalah jalan–jalan umat sebelum kalian)). Maka beliau shallallaahu 'alaihi wasallam mengingkari sekedar penyerupaan mereka terhadap orang–orang kafir dalam hal menjadikan sebuah pohon yang mereka gunakan untuk duduk–duduk di sekelilingnya seraya menggantungkan senjata mereka di atasnya, maka bagaimana dengan suatu yang lebih dasyat dari hal itu berupa syirik itu sendiri”?)(Lihat Mufidul Mustafid Fi Kufri Tarikit Tauhid, Tarikh Nejed:364).

Jadi Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa itu bukan syirik akbar, karena penyerupaan terhadap orang-orang kafir itu tidak memestikan kafirnya orang yang menyerupai mereka dalam setiap keadaan, kecuali bila menyerupai mereka di dalam kekafiran atau syirik akbar.

Al Imam Asy Syathibi berkata di dalam Al Muwafaqat: (Namun sesungguhnya tidak mesti dalam mengikuti mereka (orang-orang kafir) itu selalu di dalam ajaran bid’ah mereka, tapi bisa jadi mengikuti mereka di dalam ajaran bid’ahnya dan bisa jadi mengikuti mereka di dalam hal-hal yang menyerupainya. Adapun yang menunjukan terhadap hal yang pertama, maka adalah sabdanya: “Sungguh kalian akan mengikuti tuntunan orang-orang sebelum kalian,” di mana beliau mengatakan di dalamnya:”sampai seandainya mereka memasuki lubang hewan dlabb tentu kalian akan ikut masuk juga.” Sedangkan yang menunjukan terhadap macam yang kedua maka adalah hadits:”Maka kami berkata: Wahai Rasulullah, jadikanlah bagi kami Dzatu Anwath.” Maka beliau shallallaahu 'alaihi wasallam berkata: “Ini adalah seperti apa yang dikatakan oleh Banu Israil….) di mana sesungguhnya menjadikan Dzatu Anwath itu adalah menyerupai penjadian tuhan-tuhan selain Allah, bukan pentuhanan itu sendiri).( Al Jawabul Mufid, Aqidatul Muwahhidien:363). Lihat beliau di sini menjadikan kisah Dzatu Anwath itu hanya sekedar musyaabahah (penyerupaan) terhadap kemusyrikan bukan kemusyrikan itu sendiri.

Dan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah pun menjadikan kisah ini sebagai syirik ashghar, di mana beliau menukil ucapan Ibnu Taimiyyah tadi di dalam Kitabnya Mufidul Mustafid seraya mengakuinya.

Dan beliau juga mengatakan di dalam Kitabut Tauhid saat menuturkan masalah-masalah yang diambil dari kisah Dzatu Anwath ini:(…..Masalah kesebelas: Bahwa syirik itu ada yang akbar dan ada yang ashghar, karena sesungguhnya mereka tidak menjadi murtad dengan sebab hal itu. …..kelima belas: Larangan dari Tasyabbuh (menyerupai) dengan ahli jahiliyyah).(Majmu’ah At Tauhid:127) di mana beliau menggolongkan permintaan mereka itu dalam jajaran syirik ashghar.

Beliau juga berkata setelah menuturkan kisah Dzatu Anwath di dalam risalah Makna Tauhid: (Bila ini adalah sikap keras Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam terhadap para sahabat itu tatkala mereka meminta darinya sekedar musyaabahah (penyerupaan) terhadap kaum musyrikin di dalam menjadikan sebatang pohon untuk menggantungkan senjata (mereka) dan bertabarruk dengannya serta duduk-duduk di bawahnya, maka bagaimana dengan sesuatu yang lebih dasyat dari hal itu, yaitu syirik akbar yang dilakukan oleh mayoritas manusia pada hari ini).(Tarikh Nejed:48).

Beliau rahimahullah berkata juga tentang kisah ini: (Adapun syirik yang muncul dari orang mu’min sedangkan dia tidak mengetahuinya padahal dia itu bersungguh-sungguh di dalam mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya, maka saya berharap hal ini tidak mengeluarkan dia dari janji tersebut, karena hal-hal semacam ini telah pernah muncul para sahabat: “seperti mereka bersumpah dengan nama nenek moyang mereka, mereka bersumpah dengan nama Ka’bah, ucapan mereka: Apa yang dikehendaki Allah dan Muhammad, dan ucapan mereka: Jadikanlah bagi kami Dzatu Anwath….” Namun mereka itu saat telah nampak al haq di hadapan mereka maka mereka mengikutinya dan tidak mendebat di dalamnya dengan fanatisme jahiliyyah terhadap nenek moyang dan adat istiadat. Dan adapun orang yang mengaku Islam sedangkan dia itu melakukan hal-hal yang besar dari kemusyrikan itu, kemudian bila dibacakan kepadanya ayat-ayat Allah maka dia malah angkuh darinya, maka dia itu bukan orang muslim…..)(Tarikh Nejed:428-429) lihat beliau menjadikan permintaan sebagian sahabat itu sebagai syirik ashghar, karena ucapan beliau di awal kalimat “Adapun syirik” adalah syirik ashghar, dan ini berdasarkan beberapa dalil di antaranya:

  1. Beliau mengatakan sesudahnya :”yang muncul dari orang mu’min” sedangkan syirik akbar itu hanya muncul dari orang musyrik bukan orang mu’min, di mana beliau berkata: (Bila amalan kamu seluruhnya kepada Allah, maka kamu ini adalah muwahhid. Dan bila di dalamnya ada penyekutuan kepada makhluk, maka kamu adalah orang musyrik).(Ad Durar As Saniyyah Fil Ajwibah An Najdiyyah).
  2. Karena beliau menyertakannya dengan sumpah dengan nama nenek moyang sedangkan ia adalah termasuk syirik ashghar.
  3. Beliau mengatakan sesudahnya “Dan adapun orang yang mengaku Islam sedangkan dia itu melakukan hal-hal yang besar dari kemusyrikan itu, kemudian bila dibacakan kepadanya ayat-ayat Allah maka dia malah angkuh darinya, maka dia itu bukan orang muslim” maka ini menunjukan bahwa yang sebelumnya adalah syirik ashghar.

Dan penyataan beliau bahwa kisah Dzatu Anwath itu adalah tentang syirik ashghar ada juga di dalam Tarikh Nejed 253 di dalam surat beliau kepada Abdullah Ibnu Suhaim qadli wilayah Majma’ah.

Dan juga ditegaskan oleh Syaikh Abu Abdillah Abdurrahman Ibnu Abdil Hamid di dalam Kitab Al Jawabul Mufid Fi Hukmi Jahilit Tauhid seraya mengutip ucapan Ibnu Taimiyyah dan Asy Syathibiy, silahkan rujuk Kitab ‘Aqidatul Muwahhidin hal 363-364.

Bila ini adalah pernyataan para ulama yang bermanhaj salaf tentang makna hadits itu, maka kenapa sebagian kita malah mencari pemahaman yang menyimpang dari kebenaran demi mengudzur kaum musyrikin dan para thaghut murtad?!

Tinggal satu masalah lagi: Yaitu kenapa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam menyerupakan permintaan para sahabat yang baru masuk islam itu dengan permintaan Banu Israil kepada Musa yang merupakan syirik akbar, seraya berdalil dengan ayat “Jadikanlah bagi kami tuhan sebagaimana mereka memiliki banyak tuhan,” Dia (Musa) berkata: Sesungguhnya kalian ini adalah orang-orang yang tidak mengetahui.” ?

Maka jawabnya adalah bahwa hal itu tergolong istidlal (berdalil) dengan ayat-ayat yang turun  berkenaan dengan syirik akbar digunakan terhadap syirik ashghar atau ayat-ayat yang berkenaan dengan kufur akbar digunakan terhadap kufur ashghar sebagai bentuk pentahdziran dan penjeraan darinya. Dan cara ini adalah cara yang syar’iy yang sering digunakan oleh salaf.

Contohnya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam menggunakan ayat yang berkenaan dengan orang-orang kafir terhadap Ali radliyallaahu 'anhu, sebagaimana di dalam hadits bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam mendatangi Ali dan Fathimah Bintu Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam di suatu malam, terus beliau bertanya: Apa kalian berdua tidak melaksanakan shalat (malam)? Maka saya berkata: Wahai Rasulullah sesungguhnya jiwa kami ini hanyalah di Tangan Allah, bila Dia menghendaki untuk membangunkan kami tentu Dia membangunkan kami,” maka beliau pergi saat saya mengatakan hal itu dan tidak menjawab sepatah katapun kepada saya, kemudian saya mendengar beliau saat pergi seraya memukul pahanya dan mengatakan:”Dan manusia adalah makhluk yang banyak membantah.”(Al Kahfi:54)(HR Al Bukhari dan Muslim). Ayat ini berkaitan dengan orang kafir yang banyak mendebat dalam menolak Al Islam, kemudian Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam gunakan kepada Ali radliyallaahu 'anhu karena ada keserupaan dari sisi mendebat, walaupun beda muatan debatnya.

Contoh lain: Firman Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa :Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan yang lain).”(Yusuf:106). Ayat ini berkaitan dengan orang-orang kafir yang beriman kepada rubuubiyyah Allah namun mereka menyekutukan Allah di dalam Uluuhiyyah-Nya. Namun Hudzaifah radliyallaahu 'anhu menggunakan ayat ini juga, di mana beliau menjenguk orang yang sakit kemudian melihat di lengannya azimat, maka beliau memutuskannya  terus membaca ayat “Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan yang lain(Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 2/601).

Begitu juga Ibnu Abbas radliyallaahu 'anhu menggunakan firman Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa : “Maka janganlah kalian menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah sedang kalian mengetahui.”(Al Baqarah:22) yang berhubungan dengan orang-orang musyrik, beliau jadikan dalil untuk syirik ashghar seperti mengatakan “atas kehendak Allah dan kehendakmu”.(Tafsir Ibnu Katsir 1/76-77).

Juga salaf menggunakan ayat “Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan maka mereka itulah adalah orang-orang kafir.”(Al Maidah:44) yang berkenaan dengan orang-orang kafir, mereka menggunakannya pada para hakim muslim yang zalim. Dan masih banyak contoh untuk hal ini, namun orang yang berakal adalah cukup dengan sedikit contoh. Wallaahu A’lam.

 

Buat majalah seri ke 1.

FATWA SYAIKH ABDULLAH ABA BUTHAIN TENTANG

TAKFIR PELAKU SYIRIK AKBAR

 

Syaikh Abdullah Ibnu Abdurrahman Aba Buthain rahimahullah berkata: Kami katakan tentang takfir mu’ayyan: Dhahir ayat-ayat, hadits-hadits dan pernyataan jumhur ulama menunjukan kekafiran orang yang menyekutukan Allah, dan dalil-dalil itu tidak membedakan antara orang mu’ayyan dengan yang lainnya. Allah ta’ala berfirman:”Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa penyekutuan (sesuatu) dengan-Nya.”(an Nisa:48). Dan Dia ta’ala berfirman:”Maka bunuhilah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian dapatkan mereka.”(at Taubah:5). Dan firman-Nya ini adalah umum mencakup setiap individu dari kalangan para pelaku syirik.

Seluruh para ulama di dalam berbagai kitab fiqh menuturkan hukum orang murtad, dan hal paling pertama yang mereka sebutkan dari macam-macam kekafiran dan kemurtaddan itu adalah syirik, di mana mereka mengatakan: Sesungguhnya barangsiapa menyekutukan Allah maka dia itu kafir, dan para ulama itu tidak mengecualikan orang yang jahil; dan barangsiapa mengklaim bahwa Allah itu memiliki isteri atau anak maka dia itu kafir, dan mereka tidak mengecualikan orang yang jahil; barangsiapa menuduh Aisyah berzina maka dia kafir; dan barangsiapa memperolok-olokan Allah, atau rasul—rasul-Nya atau kitab-kitab-Nya maka dia kafir secara ijma, berdasarkan firman-Nya ta’ala:” janagnlah kalian mencari-cari alasan, karena kalian telah kafir sesudah kalian beriman.”(At Taubah:66). Dan mereka menuturkan banyak hal yang diijmakan prihal kekafiran para pelakukanya; dan mereka itu tidak membedakan antara orang mu’ayyan dengan yang lainnya. Kemudian mereka mengatakan: Barangsiapa murtad dari islam maka dia dibunuh setelah istitabah (disuruh taubat), di mana mereka memvonisnya murtad sebelum disuruh taubat, di mana istitabah itu adalah setelah dia divonis murta, sedangkan istitabah (penyuruhan taubat) itu hanyalah pada orang mu’ayyan.

Dan mereka menuturkan di dalam bab (murtad) ini hukum orang yang mengingkari salah satu dari rukun islam yang lima, atau menghalalkan sesuatu yang diharamakan, seperti khamr, babi dan yang lainnya, atau ragu tentangnya maka dia itu kafir bila orang semacam dia itu tidak layak tidak mengetahuinya.

Dan mereka tidak mengatakan hal seperti itu (yaitu ucapan mereka: bila orang semacam dia itu tidak layak tidak mengetahuiny, pent) di dalam hal syirik akbar dan yang serupa dengannya yang sebagiannya telah kami sebutkan tadi, akan tetapi mereka mengumumkan kekafiran (pelaku)nya dan tidak mengecualikan (orang yang melakukannya) karena kejahilan, serta mereka tidak membedakan antara orang mu’ayyan dengan yang lainnya. Dan sebagaimana yang telah kami utarakan bahwa istitabah (penyuruhan taubat) itu hanyalah pada orang mu’ayyan. Apakah boleh bagi orang muslim meragukan kekafiran orang yang mengatakan bahwa Allah itu memiliki isteri atau anak? atau (meragukan kekafiran orang yang mengatakan) bahwa Jibril itu keliru dalam menyampaikan kerasulan? atau (meragukan kekafiran) orang yang mengingkari hari kebangkitan setelah kematian? atau (meragukan kekafiran) orang yang mengingkari salah seorang nabi? Dan apakah orang muslim membedakan antara orang mu’ayyan dengan yang lainnya dalam (kekafiran-kekafiran) tersebut dan yang serupa dengannya? Padahal Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam telah mengatakan:”Barangsiapa mengganti agamanya maka bunuhlah dia.” Sedangkan sabdanya ini menncakup orang mu’ayyan dan yang lainnya. Sedangkan bentuk penggantian agama yang paling dasyat adalah penyekutuan Allah dengan cara mengibadati sembahan yang lain, berdasarkan firman-Nya ta’ala:”Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa penyekutuan (sesuatu) dengan-Nya.”(An Nisa:48), dan berdasarkan sabdanya shallallaahu 'alaihi wasallam tatkala ditanya: Dosa apa yang paling besar? yaitu di sisi Allah, Beliau berkata:” Kamu menjadikan tandingan bagi Allah sedangkan Dialah yang telah menciptakanmu.”………..(Ad Durar As Saniyyah Fil Ajwibah An Najdiyyah 10/401-403).

Dan beliau berkata juga: Setiap orang yang melakukan hari ini hal tersebut (kemusyrikan) di kuburan-kuburan yang dikeramatkan, maka dia adalah musyrik lagi kafir tanpa diragukan lagi berdasarkan Al Kitab, As Sunnah dan ijma. Sedangkan kita mengetahui bahwa orang yang melakukan hal tersebut dari kalangan  yang mengaku islam adalah tidaklah terjerumus ke dalam hal itu kecuali karena kebodohan mereka, seandainya mereka mengetahui bahwa hal itu menjauhkan diri mereka dari Allah dengan sejauh-jauhnya dan bahwa itu adalah termasuk kemusyrikan yang telah Allah haramkan, tentulah mereka tidak melakukannya, namun demikian seluruh ulama telah mengkafirkan mereka dan tidak mengudzurnya karena sebab kejahilan, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang-orang yang sesat: “Bahwa mereka itu diudzur karena mereka adalah orang-orang yang jahil.” Dan pernyataan ini adalah berbicara atas nama Allah tanpa dasar ilmu, yang berbenturan dengan (banyak ayat) seperti firman-Nya: ” Sebagian diberi–Nya petunjuk dan sebagian pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan sebagai pelindung/sembahan (mereka) selain Allah dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk.” (Al A’raf:30). Dan firman-Nya:”Katakanlah:”Maukah kalian Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.”(Al Kahfi:103-104)…..(Ad Durar As Saniyyah 10/404-405).

Dan beliau ditanya tentang orang yang melakukan sesuatu dari hal-hal yang membuat pelakunya kafir, maka beliau berkata:

Apa yang kamu tanyakan tentangnya, yaitu apakah boleh memvonis kafir seseorang secara ta’yin, bila dia melakukan sesuatu dari mukaffirat (hal-hal yang membuat pelakunya kafir), maka suatu yang ditunjukan oleh Al Kitab, As Sunnah dan ijma ulama bahwa ia adalah kekafiran, seperti syirik dengan peribadatan kepada selain Allah ta’ala, maka barangsiapa melakukan sesuatu dari hal macam ini atau yang sejenis dengannya, maka orang ini tidak diragukan lagi kekafirannya. Dan tidak mengapa bagi orang yang kamu ketahui pasti sesuatu dari hal itu muncul darinya, kamu mengatakan: Si fulan telah kafir dengan perbuatan ini, hal ini dijelaskan oleh realita bahwa para fuqaha menuturkan di dalam bab hukum orang murtad banyak hal yang mana seorang muslim menjadi kafir; dan mereka memulai bab ini dengan ucapan mereka: Barangsiapa menyekutukan Allah maka dia kafir, dan hukumnya dia itu disuruh taubat, kemudian bila dia taubat (maka dia dilepas) dan bila tidak maka dia dibunuh, sedangkan istitabah itu hanyalah kepada orang mu’ayyan. Dan tatakala sebagian ahli bid’ah berkata di hadapan Al Imam Asy Syafi’i: Sesungguhnya Al Qur’an itu adalah makhluq; maka beliau mengatakan: Kamu telah kafir kepada Allah Yang Maha Agung. Dan pernyataan ulama dalam hal takfir mu’ayyan adalah sangat banyak; sedangkan macam kekafiran yang paling besar adalah penyekutuan Allah dengan mengibadati selain-Nya, dan ia itu adalah kekafiran dengan ijma kaum muslimin, dan tidak mengapa mengkafirkan orang yang memiliki sifat ini, sebagaimana orang yang berzina dikatakan si fulan ini pezina, dan orang yang praktek riba dikatakan dia itu pelaku riba.(Ad Durar As Saniyyah 10/416-417).

 

 

 

 

 

Buat majalah seri ke 2.

FATWA SYAIKH SULAIMAN IBNU ABDILLAH MUHAMMAD IBNU ABDIL WAHHAB

Beliau rahimahullah ditanya tentang orang yang tidak mampu menyatakan dengan lisannya secara terang-terangan pengkafiran para pelaku kemusyrikan:

Beliau menjawab: orang itu tidak lepas dari (beberapa keadaan), bisa jadi dia ragu tentang kekafiran mereka, atau dia itu tidak mengetahui kekafirannya, atau dia itu mengakui bahwa mereka dan orang-orang semacam mereka itu adalah orang-orang-orang kafir, akan tetapi dia tidak mampu untuk menghadapi mereka dengan terang-terangan mengkafirkan mereka (di hadapan mereka), atau dia itu mengatakan “saya berkata : Selain mereka itu adalah orang-orang kafir, tapi saya tidak mengatakan bahwa mereka itu adalah orang-orang kafir.

Bila dia itu ragu tentang kekafiran mereka atau tidak mengetahui kekafiran mereka, maka jelaskanlah kepadanya dalil-dalil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallaahu 'alaihi wasallam yang menunjukan terhadap kekafiran mereka, kemudian bila dia setelah itu masih ragu dan bimbang, maka sesungguhnya dia itu adalah kafir berdasarkan ijma para ulama yang menyatakan bahwa barangsiapa ragu prihal kekafiran orang-orang kafir maka dia itu kafir.

Dan bila dia mengakui kekafiran mereka, namun tidak mampu untuk menghadapi mereka dengan terang-terangan mengkafirkan mereka (di hadapan mereka), maka dia itu adalah orang yang bermudahanah (berbasa-basi) terhadap mereka, dan dia itu masuk di dalam firman-Nya Subhaanahu Wa Ta'aalaa”Mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu),”(Al Qalam:9), dan dia itu berstatus sebagai orang yang berdosa.

Dan bila dia itu mengatakan “saya berkata : Selain mereka itu adalah orang-orang kafir, tapi saya tidak mengatakan bahwa mereka itu adalah orang-orang kafir,” maka ini adalah penghukuman darinya tentang keislaman mereka, karena tidak ada pertengahan antara kekafiran dengan keislaman, di mana bila mereka itu bukan orang-orang kafir maka berarti mereka itu adalah orang-orang muslim, sedangkan barangsiapa menamakan kekafiran itu sebagai keislaman atau menamakan orang-orang kafir itu sebagai kaum muslimin, maka dia itu adalah orang kafir, sehingga orang tersebut adalah orang kafir.(Diambil dari Risalah Autsaqu ‘Ural Iman, Majmu’atut Tauhid:96).

 

FATWA PUTERA-PUTERA SYAIKH MUHAMMAD IBNU ABDIL WAHHAB RAHIMAHULLAH

Mereka ditanya: Bagaimana pendapat antum tentang orang yang masuk ke dalam dien (tauhid) ini dan mencintainya, akan tetapi dia tidak memusuhi kaum musyrikin, atau dia itu memusuhi mereka namun tidak mengkafirkan mereka, atau dia itu mengatakan:”Saya muslim tapi saya tidak mampu mengkafirkan orang-orang yang telah mengucapkan laa ilaaha illallaah walaupun mereka itu tidak mengetahui maknanya. Dan (bagaiamana pendapat antum) tentang orang yang masuk ke dalam dien ini dan mencintainya, akan tetapi dia mengatakan: Saya tidak akan menyinggung dengan negatif terhadap kubah-kubah (kemusyrikan) itu, dan saya mengetahui bahwa ia itu tidak bisa mendatangkan manfa’at dan madlarat namun saya tidak akan menyinggungnya dengan negatif.

Maka jawabannya: Bahwa orang tersebut tidaklah menjadi muslim kecuali bila dia itu mengetahui tauhid, menganutnya dan mengamalkan konsekuensinya, serta dia membenarkan Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam di dalam apa yang beliau kabarkan, mentaatinya dalam apa yang beliau larang dan  beliau perintahkan, dan beriman kepadanya dan kepada apa yang beliau bawa. Barangsiapa mengatakan: saya tidak memusuhi kaum musyrikin, atau dia itu memusuhi mereka namun tidak mengkafirkan mereka, atau mengatakan: Saya tidak akan menyinggung dengan negatif orang-orang yang telah mengucapkan laa ilaaha illallaah walaupun mereka itu mengerjakan kekafiran dan kemusyrikan dan mereka memusuhi agama Allah, atau mengatakan: Saya tidak akan menyinggung dengan negatif terhadap kubah-kubah (kemusyrikan) itu, maka orang ini tidaklah menjadi muslim, justeru dia termasuk orang-orang yang Allah firmankan.” Mereka mengatakan:”Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain),”serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir itu adzab yang menghinakan.”(An Nisa:150-151).

Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa telah mewajibkan untuk memusuhi kaum musyrikin, menjauhi mereka dan mengkafirkan mereka, di mana Dia berfirman:

Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu adalah bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara, atau keluarga mereka.”(Al Mujadilah:22).

Dan firman-Nya:

 “Dan siapa yang tawalliy kepada mereka di antara kalian maka sesungguhnya ia termasuk golongan mereka, maka sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zhalim” (QS. Al Maaidah: 51).

Dan berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu.”(Al Mumtahanah:1).

Wallahu a’lam.

(Diambil dari Risalah Bayan An Najah Wal Fikak Min Muwalatil Murtaddin Wa Ahlil Isyrak, Majmu’atut Tauhid:200).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Buat majalah edisi ke 3

FATWA SYAIKH MUHAMMAD IBNU ABDIL WAHHAB

TENTANG TAKFIR PELAKU SYIRIK DAN ORANG YANG TAWALLI KEPADA KAUM MUSYRIKIN SERTA SEMBELIHAN ORANG MURTAD

Beliau rahimahullah berkata:

Orang bila bersaksi bahwa ini adalah ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka bagaimana mungkin dia tidak mengkafirkan orang yang mengingkarinya dan membunuh orang-orang yang beriman kepadanya serta memenjarakan mereka? Bagaimana mungkin dia tidak mengkafirkan orang yang mendatangi kaum musyrikin seraya menyemangati mereka untuk tetap di atas ajaran mereka, dan dia memperindahnya di hadapan mereka serta memprovokasi mereka untuk memusuhi kaum muwahhidin dan untuk merampas harta-harta mereka? Bagaimana tidak dikafirkan sedangkan dia bersaksi bahwa yang dia anjurkan itu adalah apa yang diingkari oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dan beliau telah melarang darinya serta menamakannya sebagai syirik? (Dan bagaiamana dia itu tidak dikafirkan), sedangkan apa yang dia benci berikut orang-orangnya serta dia perintahkan kaum musyrikin agar membunuhi orang-orang tersebut adalah ajaran Allah dan Rasul-Nya?

Dan ketahuilah bahwa dalil-dalil yang menunjukan pengkafiran orang muslim yang shalih bila dia itu menyukutukan Allah atau dia itu bergabung bersama kaum musyrikin dalam memerangi kaum muwahhidin walaupun dia itu tidak berbuat syirik adalah sangat banyak sekali dari firman Allah dan sabda Rasul-Nya serta ucapan para ulama. Dan di sini saya akan mengutarakan satu ayat dari firman Allah yang mana para ulama berijma terhadap penafsirannya, dan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan orang-orang islam, dan bahwa seseorang bila mengucapkan (kekafiran) itu maka dia itu kafir kapan saja. Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa berfirman:

Barangsiapa kafir kepada Allah setelah dia beriman, kecuali orang yang dipaksa padahal hatinya tetap tenang dengan keimanan, akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan dunia lebih dari akhirat, dan bahwasannya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir ”(An Nahl:106-107).

Di dalam ayat itu Allah menyebutkan bahwa “mereka mencintai kehidupan dunia lebih dari akhirat,”.  Bila saja para ulama menyebutkan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan para sahabat, tatkala mereka mendapatkan penindasan dari penduduk Mekkah, dan para ulama menyebutkan bahwa seorang sahabat bila mengucapkan ucapan kemusyrikan dengan sekedar lisannya saja karena takut terhadap orang-orang musyrik padahal di hatinya dia membenci ucapan itu dan memusuhi para penganutnya, maka dia itu kafir setelah beriman, maka bagaimana gerangan dengan orang mukmin pada zaman kita ini bila dia mengucapkan (ucapan kemusyrikan) di kota Bashrah ,Ahsa, Mekkah atau daerah lainnya karena takut terhadap orang-orang musyrik sebelum dia dipaksa? Bila saja ini adalah kafir, maka apa gerangan dengan orang yang berada bersama dengan orang-orang musyrik dan tinggal bersama mereka serta menjadi bagian dari golongan mereka? Maka bagaimana gerangan dengan orang yang membantu mereka terhadap kemusyrikannya itu dan menghiasinya di hadapan mereka? Dan bagaimana gerangan dengan orang yang memerintahkan mereka agar membunuh kaum muwahhidin serta menganjurkan mereka agar tetap komitmen di atas ajaran (syirik) mereka?

Maka kalian –semoga Allah memberikan taufiq kepada kalian- hendaklah memperhatikan ayat tadi, perhatikanlah tentang siapa ayat itu turun, dan ulama telah ijma terhadap penafsirannya. Dan perhatikanlah apa yang terjadi di antara kami dengan musuh-musuh Allah, kami selalu meminta mereka agar merujuk kepada kitab-kitab mereka yang ada di tangan-tangan mereka tentang masalah takfir dan qital (perang), namun ternyata mereka tidak memberikan jawaban kepada kami kecuali dengan jawaban-jawaban yang hanya bersipat pengaduan-pengaduan kepada para syaikh dan orang-orang semacam mereka. Kami memohon kepada Allah agar memberikan taufiq untuk kalian kepada dien-Nya serta mengkaruniakan untuk kalian keteguhan di atasnya. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Muhammad, keluarganya dan para sahabatnya.(Dari Kitab Fi ‘Aqaaidil Islam:42-43).

Beliau rahimahullah ditanya tentang sembelihan orang murtad, maka beliau menjawab:

Firman Allah ta’ala:”Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan (sembelihan)mu halal pula bagi mereka.”(Al Maidah:5), dan firman-Nya ta’ala:”Maka makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut Nama Allah ketika menyembelihnya.”(Al An’am:118), adalah tidak ada perselisihan tentang hukum yang dimuat ayat-ayat itu di antara seorangpun yang mengetahui Kitabullah, akan tetapi permasalahan adalah tentang si penyembelih apakah dia itu muslim sehingga hukumnya masuk di dalam hukum yang dimuat ayat itu bila dia menyembelih dan menyebut Nama Allah ketika menyembelihnya, dan seandainya dia meninggalkan basmalah karena lupa maka sembelihannya halal dan ia termasuk makanan yang thayyib, berbeda halnya andaikata dia sengaja meninggalkan bacaan basmalah maka tidak halal sembelihannya. Begitu juga ahli kitab, yaitu yahudi dan nasrani, sembelihan mereka itu adalah halal dan halal pula menikahi wanita-wanita mereka, berdasarkan firman-Nya ta’ala: :”Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan (sembelihan)mu halal pula bagi mereka…..”(Al Maidah:5).

Adapun orang murtad, maka tidak halal sembelihannya, walaupun dia membaca basmalah ketika menyembelih, karena penghalangnya adalah kemurtaddan dia dari dienul islam bukan karena dia meninggalkan bacaan basmalah, sebab sesungguhnya dia itu adalah lebih busuk di sisi Allah daripada yahudi dan nasrani dari banyak sisi:(Pertama) bahwa sembelihannya termasuk makanan yang khabits (haram). (Kedua) bahwa tidak halal menikahi wanita murtad, beda halnya dengan ahli kitab. (Ketiga) bahwa dia tidak diakui hidup di negeri kaum muslimin baik itu dengan jizyah maupun yang lainnya. (Keempat) bahwa hukumannya adalah dipenggal lehernya dengan pedang, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam:”Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia itu” beda halnya dengan ahli kitab.

Bila hal ini sudah jelas pada dirimu, maka ketahuilah bahwa pembahasan adalah tentang pengharaman sembelihan orang murtad, bukan tentang bahwa Allah telah memerintahkan untuk memakan apa yang disebutkan Nama Allah ketika menyembelihnya, serta bukan tentang penghalalan sembelihan ahli kitab. (Dari Kitab Fi ‘Aqaaidil Islam:43).

 

 

 

 

 

Buat majalah edisi ke 4:

FATWA SYAIKH MUHAMMAD IBNU ABDIL WAHHAB TENTANG PENGKAFIRAN ORANG YANG MENGAKU ISLAM DAN MELAKSANAKAN BANYAK AJARAN ISLAM KARENA SUATU PEMBATAL KEISLAMAN

Beliau rahimahullah ditanya: Kenapa kalian mengkafirkan orang yang melaksanakan rukun islam yang lima?

Beliau rahimahullah menjawab: Sungguh pada zaman Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam ada orang yang mengaku islam terus dia keluar dari dienul islam, sebagaimana di dalam hadits shahih bahwa Rasulullah  shallallaahu 'alaihi wasallam mengutus Al Baraa Ibnu ‘Azib dengan membawa panji kepada seorang pria yang menikahi ibu tirinya untuk membunuhnya dan mengambil hartanya, padahal orang itu mengaku islam dan mengamalkannya.

Contoh lain adalah Abu Bakar Ash Shiddiq dan para sahabat radliyallaahu 'anhum telah memerangi orang-orang yang menolak dari membayar zakat, menjadikan anak isteri mereka sebagai budak, merampas harta mereka sebagai ghanimah serta menamakan mereka sebagai kaum murtaddin setelah mereka melaksanakan ajaran-ajaran islam.

Juga para ulama tabi’in sepakat terhadap pembunuhan Al Ja’ad Ibnu Dirham padahal dia itu terkenal dengan keilmuan dan keshalihannya, serta kejadian-kejadian lainnya yang sangat banyak sekali yang tidak terhitung. Dan contoh lain seperti Banu ‘Ubaid yang menguasai Mesir, Syam dan wilayah islam lainnya, di mana mereka itu mengaku islam, melaksanakan shalat jama’ah dan jum’ah, serta mereka mengangkat para qadli dan mufti, namun tatkala mereka menampakan kekafiran dan kemusyrikan dari ucapan dan perbuatan mereka, maka tidak ada seorang ulama-pun yang meragukan (kekafiran dan kewajiban) memerangi mereka, karena alasan bahwa mereka itu mengaku islam dan mengucapkan laa ilaaha illallaah atau mereka itu menampakkan sesuatu dari rukun-rukun islam, kecuali apa yang kami dengar dari kalian (sekarang). Kalau demikian, maka apa artinya bab yang diutarakan para ulama di dalam semua madzhab, yaitu (bab hukum orang murtad) yang mana ia adalah orang muslim yang menjadi kafir setelah keislamannya, sampai-sampai mereka mengutarakan di dalamnya banyak hal yang masing-masing darinya menjadikan seseorang sebagai orang kafir serta darah dan hartanya menjadi halal, sampai-sampai mereka menyebutkan hal-hal yang sepertinya sepele, seperti ucapan yang diucapkan dengan sekedar lisannya tanpa disertai keyakinan hatinya atau ucapan yang dilontarkan dalam bentuk bercanda dan bersenda gurau. Dan orang-orang yang Allah firmankan”Mereka itu bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengucapkan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir setelah mereka islam”(At Taubah:74) di mana Allah mengkafirkan mereka dengan sebab suatu ucapan yang mereka lontarkan, padahal mereka itu berada di zaman Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, mereka berjihad bersamanya, mereka shalat, zakat, shaum, haji dan mentauhidkan Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa? Begitu juga Allah mengatakan tentang mereka”Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Janganlah kamu mencari-cari alasan, sungguh kamu telah kafir setelah kamu beriman.”(At Taubah:65-66) di mana mereka telah mengucapkan suatu ucapan (kekafiran) dalam rangka bercanda dan bersenda gurau, maka Allah menegaskan bahwa mereka itu telah menjadi kafir sesudah mereka beriman, padahal mereka itu berada bersama Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam di dalam perang Tabuk.

Maka perhatikanlah –semoga Allah membimbingmu- orang yang mengaku islam, dia keluar dari Islam tatkala dia menampakkan hal yang membatalkannya, maka bagaimana dengan kekafiran yang lebih nyata dari hal itu? Bila di masa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam dan para khalifahnya ada orang yang mengaku islam terus dia murtad dari islam padahal dia itu banyak melakukan ibadah yang agung sehingga Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam memerintahkan agar memeranginya, maka diketahuilah  bahwa orang yang mengaku Islam pada zaman ini bisa murtad dari islam.

Dan ucapan kalian”apakah mereka mengetahui bagi Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam dien selain Islam yang dibawa Jibril? Maka sudah mkalum bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam mengajak manusia kepada tauhid bertahun-tahun sebelum beliau mengajak mereka kepada rukun-rukun Islam. Dan sudah maklum bahwa tauhid yang dibawa Jibril itu adalah kewajiban yang paling besar, di mana ia itu lebih agung daripada shalat, zakat, shaum dan haji. Bagaimana jika seseorang mengingkari sesuatu dari rukun-rukun islam (yang empat itu) dia menjadi kafir walaupun dia mengamalkan semua yang dibawa Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam, sedang bila dia mengingkari tauhid yang merupakan dien para rasul sejak Nuh sampai Muhammad maka dia tidak kafir karena dia mengucapkan laa ilaaha illallaah atau karena dia melakukan ini dan itu? jadi apa yang memisahkan antara Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dengan quraisy itu? apakah karena berebut kekuasaan, kedudukan dan persaingan duniawi? Ataukah pertentangan itu pada laa ilaaha illallaah Muhammad Rasulullah? Sehingga mereka pergi berhamburan saat diajak kepadanya dan mengatakan”Mengapa dia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.”(Shaad:5). Apakah kamu mengira bahwa quraisy itu seandainya mereka mengetahui bahwa ucapan ini hanya sekedar perkataan tanpa realisasi amalan dan bahwa mereka terus mengucapkan laa ilaaha illallaah dan mereka tetap berada di atas ajaran mereka sedangkan hal itu tidak membahayakan mereka sedikitpun bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam rela dari mereka dengan sekedar itu dan beliau tidak akan memerangi mereka, tidak akan mengkafirkan mereka serta tidak akan menyerang mereka? Apakah kamu mengira bahwa mereka tidak mau mengucapkan laa ilaaha illallaah (bila demikian keadaannya) seperti apa yang kalian yakini, atau apakah kalian meyakini bahwa dienul islam itu hanya sekedar pelapalan laa ilaaha illallaah? Dan bahwa orang yang mengucapkannya maka dialah orang muslim? Dan kalian mendalilinya dengan hadits Jibril, hadits”Islam itu dibangun di atas lima hal”, hadits”Aku diperintahkan untuk memrangi manusia….” Hadits Usamah, hadits”Barangsiapa shalat seperti shalat kami…..”, dan hadits bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bila akan menyerbu dadakan suatu desa bila beliau mendengar adzan maka beliau tidak jadi menyerangnya dan bila tidak mendengar adzan maka beliau menyerangnya?! Namun masalahnya adalah seperti apa yang dikatakan Umar Ibnul Khaththab radliyallaahu 'anhu:”Ikatan islam itu hanyalah lepas satu demi satu bila tumbuh di dalam Islam ini orang yang tidak mengetahui jahiliyyah.”  Di mana bila seseorang tidak mengetahui dari kemusyrikan ini apa yang dicela oleh Al Qur’an  maka dia terjatuh ke dalamnya, sedangkan dia tidak mengetahui bahwa ia adalah apa yang dianut oleh ahlul jahiliyyah atau bahkan lebih dasyat atau lebih ringan atau lebih buruk darinya, sehingga terlepaslah ikatan-ikatan islam dengan sebab hal itu, dan pada akhirnya hal ma’ruf menjadi munkar dan hal munkar menjadi ma’ruf, sunnah menjadi bid’ah dan bid’ah menjadi sunnah, serta seseorang dikafirkan dengan sebab keimanan dan pemurnian tauhid, dan dianggap ahli bid’ah dengan sebab dia ittiba’ kepada Rasul. Fa laa haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil a’dhiim.

Bila pertanyaanmu ini adalah dalam rangka mencari bimbingan, maka bertanyalah tentang firman Allah ta’alaa prihal Ibrahim”Dan jauhkanlah aku dan anak cucuku daripada menyembah berhala.”(Ibrahim:35). (Ibnul Qayyim) berkata: Dan tidak selamat dari perangkap syirik akbar ini kecuali orang yang memyrnikan tauhid kepada Allah, dan dia memusuhi kaum musyrikin karena Allah serta mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membenci mereka.”

Maka perhatikanlah bahwa islam tidak sah kecuali dengan memusuhi kaum musyrikin, dan bila dia tidak memusuhi mereka maka dia itu termasuk golongan mereka walaupun dia tidak melakukan kemusyrikan itu. dan bertanyalah tentang firman Allah ta’alaa:”Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan daud dan Isa Ibnu Maryam – sampai firman-Nya- Sekiranya mereka beriman kepada Allah, Nabi dan Al Kitab, niscaya mereka tidak menjadikan orang-orang musyrik itu sebagai penolong-penolong (pemimpin-pemimpin), tapi kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang fasiq.”(Al Maidah:78-81). Dan firman-Nya ta’alaa:”hai orang-orang yang beriman janganlah kalian menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia – sampai firman-Nya-  dan telah nampak di antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja.”(Al Mumtahanah:1-4). Dan firman-Nya ta’alaa:” “Engkau tidak mungkin mendapatkan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, meskipun mereka itu ayah-ayah mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka atau karib kerabatnya…” (QS. Al Mujaadilah : 22).  Dan ayat-ayat serupa itu.

Dan bertanyalah tentang sebab turun ayat ini dan maknanya, dan bila pertanyaan itu untuk tujuan lain, maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang binasa. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Muhammad, keluarganya serta para sahabatnya.

(Dari Kitab Fii ‘Aqaaidil Islam Min Rasaail Asy Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab:43-46)

 

Hukum Berloyalitas

Terhadap Kaum Musyrikin

(1)

Berloyalitas dalam bahasa Arabnya adalah Al Wala atau muwaalah yang diambil dari kata al walyu yang berarti ad dunuww atau al qurbu yang bermakna dekat. Dan al wala ini memiliki banyak makna yang berdekataan, di antaranya al mahabbah (kecintaan), an nushrah (pemberian bantuan dan dukungan), al mutaba’ah (sikap mengikuti), dan al muwaafaqah (sikap setuju) sebagaimana yang dijelaskan Ibnul Atsir dalam kitab An Nihayah.

          Allah melarang orang muslim berwala dengan orang kafir sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :

* $pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#räÏ­Gs? yŠqåkuŽø9$# #t»|Á¨Z9$#ur uä!$uÏ9÷rr& ¢ öNåkÝÕ÷èt/ âä!$uŠÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4 `tBur Nçl°;uqtGtƒ öNä3ZÏiB ¼çm¯RÎ*sù öNåk÷]ÏB 3 ¨bÎ) ©!$# Ÿw Ïôgtƒ tPöqs)ø9$# tûüÏJÎ=»©à9$# ÇÎÊÈ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin, sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Dan siapa yang tawalliy kepada mereka di antara kalian maka sesungguhnya ia termasuk golongan mereka, maka sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zhalim” (QS. Al Maaidah [5] : 51)

 

Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#räÏ­Gs? tûïÍÏÿ»s3ø9$# uä!$uŠÏ9÷rr& `ÏB Èbrߊ tûüÏZÏB÷sßJø9$#

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang kafir sebagai auliya dengan meninggalkan kaum mukminin…” (QS. An Nisaa [4] : 144)

Dan Allah meniadakan iman dari orang yang menjalin kasih sayang dengan orang-orang kafir, sebagaimana firman-Nya:

žw ßÅgrB $YBöqs% šcqãZÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# šcrŠ!#uqムô`tB ¨Š!$ym ©!$# ¼ã&s!qßuur öqs9ur (#þqçR%Ÿ2 öNèduä!$t/#uä ÷rr& öNèduä!$oYö/r& ÷rr& óOßgtRºuq÷zÎ) ÷rr& öNåksEuŽÏ±tã

 “Engkau tidak mungkin mendapatkan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, meskipun mereka itu ayah-ayah mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka atau karib kerabatnya…” (QS. Al Mujaadilah [58] : 22)

          Jadi loyalitas hanya boleh diberikan kepada orang-orang yang beriman, sedangkan orang kafir hanyalah diberi sikap bara’ (keberlepasan diri).

          Adapun hukum berloyalitas kepada orang-orang kafir adalah  minimal haram berdasarkan ijma para ulama yang berlandaskan Al Qur'an dan As Sunnah.  Perlu diperhatikan bahwa bentuk loyalitas ini ada yang mengeluarkan dari Islam dan sering disebut muwaalah kubra (tawalliy), dan ada pula yang “hanya” berupa dosa besar yang tidak mengeluarkan dari Islam dan lebih sering disebut muwaalah shughra.

I.             Muwaalah Kubra

          Muwaalah kubra adalah loyalitas yang mengeluarkan pelakunya dari Islam, dan ini ada empat macam :

1.Mencintai atau bangga atau mengidolakan atau mengagumi orang  kafir karena alasan ajaran kafirnya.

Seperti orang yang mencintai atau membanggakan  si fulan karena dia seorang demokrat sejati, atau mencintai/mengagumi si fulan karena dia anggota DPR/MPR, mencintai si fulan karena dia seorang Pancasilais, atau mencintai si fulan karena dia seorang Nasionalis, atau bangga dengan hakim atau jaksa fulan karena dia komitmen dengan KUHP, atau bangga dengan anaknya yang menjadi polisi karena dia aparat penegak hukum buatan, dan lain sebagainya.

          Dan dalilnya adalah firman Allah ta’alaa:” Barangsiapa kafir kepada thaghut dan beriman kepada Allah maka dia telah memegang ikatan tali yang sangat kokoh yang tidak akan putus.” (Al Baqarah:256).

Dan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam : “Siapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan dia kufur kepada segala yang diibadati selain Allah, maka haram darah dan hartanya, sedangkan perhitungannya atas Allah[HR. Muslim]

Dan ijma yang dikatakan Syaikh Sulaiman Ibnu ‘Abdillah Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah dalam kitab beliau Taisir Al ’Aziz Al Hamid : “Sekedar mengucapkan Laa ilaaha illallaah tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan konsekuensinya berupa komitmen dengan tauhid, meninggalkan segala bentuk syirik akbar dan kafir terhadap thaghut maka pengucapan Laa ilaaha illallaah-nya tersebut tidak bermanfaat berdasarkan ijma para ulama”.

Di dalam ayat, juga hadits serta ijma para ulama ini orang dianggap muslim bila kufur kepada thaghut, termasuk di antaranya  yaitu ajaran syirik dan kekafiran. Sedangkan di antara makna kufur kepada thaghut adalah membenci segala kemusyrikan, sedangkan orang-orang di atas tadi justeru mencintai ajaran syirik tersebut, sehingga batallah keIslaman macam orang ini. Sedang Komunisme, Nasionalisme, Demokrasi, KUHP dan isme-isme sejenisnya adalah merupakan paham-paham  syirik dan kekufuran.

 

2.Membantu orang-orang musyrik untuk menghancurkan kaum muslimin.

          Orang yang bergabung secara aktif di lapangan ataupun berperan di belakang layar dengan orang-orang musyrik dalam rangka menindas dan membungkam kaum muslimin, maka telah batal keIslamannya, seperti orang-orang yang bergabung dengan pasukan Salibis pimpinan Amerika Serikat untuk menghancurkan Negara Islam Thaliban, atau Pemerintah Saudi yang telah membantu Amerika Serikat saat menggempur Negara Islam Thaliban, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

4 `tBur Nçl°;uqtGtƒ öNä3ZÏiB ¼çm¯RÎ*sù öNåk÷]ÏB

“…Barangsiapa yang tawalliy kepada mereka di antara kalian, maka sesungguhnya dia adalah bagian dari mereka…” (QS. Al Maidah [5] : 51)

Para ulama menjelaskan tentang makna ayat ini, yaitu barangsiapa membantu orang kafir dalam memerangi kaum muslimin maka dia kafir sama dengan mereka.

Bantuan yamg diberikan itu bisa berbentuk apa saja, baik itu doa, lisan, atau tulisan, atau harta atau fisik. Allah telah mengkafirkan orang yang membantu orang kafir dalam memerangi kaum  muslimim dengan sekedar doa, sebagaimana yang Allah ceritakan di dalam firman-Nya ta’alaa:

“Dan bacakan kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Taurat), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti syaitan (sampai ia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.” (al A’raf:174)

Ayat ini turun berkenaan dengan seorang ulama yang ahli ibadah di zaman Banu Israil yang bernama Bul’am, di mana dia itu mengetahui Nama Allah Yang Paling Agung. Ibnu Abi Thalhah berkata dari Ibnu Abbas: Tatkala Musa 'alaihis salam  mendatangi kaum Jabbarin, karib kerabat Bul’am datang kepadanya dan terus berkata: Sesungguhnya Musa ini adalah orang keras dan memiliki banyak tentara, dan bila dia menguasai kita tentu dia membinasakan kami, maka berdoalah engkau kepada Allah agar menghalangi Musa dan pasukannya dari kami.” Bul’am berkata: Bila saya berdoa tentulah lenyap dunia dan akhirat saya.” Dan mereka terus membujuknya sampai akhirnya dia  mendoakan keburukan bagi pasukan Musa, maka Allah-pun melepaskan dia dari apa yang selama ini dimilikinya, dan itulah firman-Nya ta’ala” kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti syaitan (sampai ia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.”

Dan termasuk bantuan lisan adalah apa yang dilakukan ulama suu’ dan para du’at jahat yang mengatakan bahwa para thaghut murtad dan ansharnya yang memerintah kaum muslimin di negeri ini dan di negeri kaum muslimin lainnya adalah ulil amri yang wajib ditaati sedangkan kaum muwahhidin yang membangkang kepadanya adalah bughat atau khawarij yang harus diberantas. Para ulama dan du’at suu’ ini adalah telah tawalli kepada orang-orang kafir. Bahkan mereka itu lebih berbahaya terhadap umat islam daripada polisi dan tentara thaghut yang membela dengan fisik dan senjatanya, karena para du’at dan ulama suu’ itu berbicara atas nama dienul islam dan dalil yang menyesatkan umat, sedangkan para tentara dan polisi mereka itu bertindak atas nama dunia (gaji).

 Dan termasuk  tawalli macam ini adalah menjadi intel dan mata-mata untuk kepentingan pemerintah kafir yang memata-matai gerakan islam dan para du’at tauhid, atau memberikan laporan tentang pergerakan islam kepada pemerintah thaghut.

          Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata saat menyebutkan di antara pembatal keIslaman : “Membantu kaum musyrikin untuk menghancurkan kaum muslimin”.

Perlu diingat bahwa di antara makna kufur kepada thaghut adalah memusuhi orang-orang kafir, sedangkan orang yang membantu thaghut dalam membungkam kaum muwahhidin atau mujahidin adalah telah melakukan kebalikan dari sikap kafir kepada thaghut, sehingga dia batal keislamannya. Allah ta’ala berfirman:”Seandainya mereka beriman kepada Allah, Nabi dan Al Kitab, tentulah mereka tidak menjadikan orang-orang kafir itu sebagai auliya (pemimpin).”(Al Maidah:81).

Sedangkan tawalli macam ini adalah sebagai bentuk menjadikan kaum kafir sebagai pemimpin, dan Allah ta’ala telah meniadakan iman dari orang yang berbuat demikian.

Bersambung ke idisi berikutnya.

 

 

 

 

  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 




















 

 

 

 
 
  Today, there have been 10 visitors (14 hits) on this page!  
 
This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free